Pak Teguh Hidayat menulis:
Salah satu teknik/strategi dalam berinvestasi di saham adalah terkait bagaimana mengelola portofolio setiap beberapa waktu sekali agar menjadi ‘rapih’ kembali setelah sebelumnya ‘berantakan’, dengan cara melepas saham-saham yang tidak produktif/turun, meng-hold saham-saham yang masih berpotensi untuk naik lebih lanjut, dan membeli saham-saham baru untuk menggantikan saham-saham yang dilepas. Bahasa kerennya untuk strategi seperti ini adalah portfolio re-balancing. Portfolio rebalancing ini sangat penting untuk dilakukan entah itu anda adalah seorang investor jangka panjang, ataupun trader.
Salah satu teknik/strategi dalam berinvestasi di saham adalah terkait bagaimana mengelola portofolio setiap beberapa waktu sekali agar menjadi ‘rapih’ kembali setelah sebelumnya ‘berantakan’, dengan cara melepas saham-saham yang tidak produktif/turun, meng-hold saham-saham yang masih berpotensi untuk naik lebih lanjut, dan membeli saham-saham baru untuk menggantikan saham-saham yang dilepas. Bahasa kerennya untuk strategi seperti ini adalah portfolio re-balancing. Portfolio rebalancing ini sangat penting untuk dilakukan entah itu anda adalah seorang investor jangka panjang, ataupun trader.
Analogi dari portfolio rebalancing ini adalah
seperti dalam kompetisi sepakbola. Setiap tahunnya, para manajer sebuah klub
memiliki kesempatan dua kali, yakni ketika jendela transfer dibuka pada
pertengahan dan awal musim kompetisi, untuk membeli pemain yang ia butuhkan, mempertahankan
sebagian pemain yang sudah ada, dan menjual/melepas sebagian pemain yang tidak
lagi dibutuhkan oleh tim. Kegiatan jual beli pemain ini diperlukan karena pemain
sepakbola yang amat sangat bagus sekalipun, pada akhirnya dia akan menjadi tua dan
kehilangan kemampuannya, sehingga tidak lagi bisa berkontribusi terhadap tim.
Disisi lain, setiap tahunnya akan selalu ada pemain-pemain muda berbakat yang
bisa diambil oleh klub untuk memperkuat tim, untuk menggantikan pemain yang
sudah tidak lagi bisa berkontribusi.
Selain karena masalah usia yang tidak lagi muda,
masih ada banyak lagi alasan kenapa sebuah klub menjual pemainnya, seperti
karena: 1. Si pemain ternyata tidak mampu bermain seperti yang diharapkan, atau
karena gaya permainannya tidak cocok dengan gaya permainan tim secara
keseluruhan (kalau kejadiannya kaya gini, maka harga jual si pemain akan lebih
rendah dibanding harga belinya, alias pihak klub terpaksa jual rugi), 2. Si
pemain memiliki sifat temperamental, atau sering berbuat onar diluar lapangan, dan
3. Adanya tawaran dari klub lain yang berani membelinya dengan harga selangit.
Ketika klub mempertahankan pemainnya/tidak
menjualnya, maka alasannya cuma satu: Si pemain masih bisa diharapkan untuk berkontribusi
lebih banyak lagi terhadap tim secara keseluruhan, dimana meski ada klub-klub
lain yang mengincarnya, namun harga yang mereka tawarkan tidak/belum sebanding
dengan besarnya kontribusi tersebut.
Sementara ketika sebuah klub membeli seorang
pemain, alasannya bisa karena: 1. Harganya relatif murah dibanding dengan
kualitas si pemarin itu sendiri, 2. Harganya murah, dan memang kualitasnya juga
tidak bagus-bagus amat, namun sesuai dengan kebutuhan tim atau si manajer, 3. Merupakan
pemain muda dengan bakat terpendam, dan 4. Harganya mahal, namun setimpal
dengan kualitasnya yang luar biasa.
Nah, percaya atau tidak, dalam menyusun
komposisi portofolio saham, maka tugas anda sebagai investor adalah seperti
manajer klub sepakbola tadi, dan saham-saham yang anda pegang adalah seperti
para pemain sepakbolanya. Jadi kenapa anda harus menjual salah satu atau
beberapa saham yang anda pegang? Well, itu mungkin karena: 1. Ketika anda
membeli saham tertentu, alasannya adalah karena kinerja/fundamental
perusahaannya terbilang bagus, namun di periode berikutnya perusahaan ternyata
tidak bisa mempertahankan kinerjanya yang bagus tersebut (misalnya labanya
tiba-tiba turun drastis, atau bahkan rugi), 2. Sahamnya sering bergerak liar
termasuk turun sendiri tanpa penyebab yang jelas, sehingga mengganggu kinerja
portofolio secara keseluruhan, dan 3. Pada titik tertentu, misalnya ketika
pasar sedang bullish, harga saham tersebut sudah naik sangat tinggi dibanding
dengan perkembangan fundamental dari perusahaannya sendiri, sehingga valuasinya
menjadi sangat mahal.
Kalau anda perhatikan ketiga poin ‘alasan
penjualan’ diatas, maka anda bisa menjual saham anda dalam posisi untung, rugi,
ataupun tengah-tengahnya. Jadi alasan
kenapa anda harus menjual saham tertentu bukanlah karena anda sudah untung atau
rugi sekian persen dari saham tersebut, melainkan karena anda harus menjualnya
saja. Tak peduli seberapa dalam kerugian yang anda alami, namun kalau saham
tersebut kemungkinan masih bisa turun, maka segeralah menjualnya. Sebaliknya,
meski anda mungkin akan ‘jatuh cinta’ pada saham tertentu karena saham tersebut
sudah memberikan keuntungan sebesar sekian kali lipat sehingga anda bertekad
untuk memegangnya selamanya, namun jika ‘waktunya tiba’ dimana anda harus
menjualnya, maka anda harus menjualnya. Saham sekelas Astra International (ASII) sekalipun, jika anda terus memegangnya selama periode tahun 2011 –
2013, maka anda akan kehilangan waktu 2 tahun yang amat berharga tanpa
memperoleh apa-apa, karena ASII hanya bergerak stagnan selama periode waktu
tersebut, sesuai dengan kinerjanya yang juga stagnan karena pelemahan harga CPO
dan batubara ketika itu.
Lalu kenapa saham-saham yang lainnya bisa
di-hold? Ya itu karena saham tersebut, setelah anda pelajari kembali, masih
berpotensi untuk naik lebih tinggi lagi, meski kenaikan tersebut tentunya tidak
akan terjadi hanya dalam waktu 1 – 2 hari. Adalah konyol jika anda meng-hold
saham tertentu karena ‘soalnya saya udah nyangkut terlalu dalam, jadi tunggu
dia naik dulu deh kemudian baru cut loss’. Pertanyaannya, kalau kinerja perusahaannya
sendiri ternyata sudah amburadul, gimana sahamnya bisa naik?
Dan ketika anda berniat untuk membeli
saham-saham tertentu (sebagai ganti dari saham-saham yang sudah dijual
sebelumnya), maka beberapa alasan yang masuk akal adalah: 1. Valuasinya relatif murah, padahal sahamnya bagus
(biasanya ini terjadi hanya kalau pasar/IHSG lagi bearish alias turun),
2. Valuasinya sangat murah, meski
memang fundamentalnya gak bagus-bagus amat (tapi juga nggak bisa dikatakan jelek),
3. Sahamnya mewakili perusahaan kecil yang berpeluang untuk tumbuh menjadi
besar suatu hari nanti, dan 4. Meski harganya mahal, namun harga tersebut cukup
setimpal dengan kemampuan perusahaan dalam mencetak laba secara konsisten dari
tahun ke tahun.
Jadi percaya atau tidak, kalau orang-orang
seperti Carlo Ancelotti, Jose Mourinho, dan Joseph Guardiola main saham, mereka
semua akan menggunakan strategi value investing, yakni membeli saham
berdasarkan fundamental dan valuasinya. Nah, sekarang coba anda bayangkan kalau
para manajer sepakbola ini membeli pemain sepakbola hanya karena rumor bahwa
ada pemain hebat bla bla bla, tanpa menyelidiki/menganalisis si pemain ini
terlebih dahulu, dan tanpa mempertimbangkan apakah harganya terbilang wajar atau tidak. Kira-kira bagaimana hasilnya?
Sayangnya, hingga di pasar modal masih banyak sekali investor/trader yang
membeli saham hanya berdasarkan rumor tanpa analisis, sehingga hasilnya pun bisa
ditebak: Di musim berikutnya mereka terdegradasi, alias gak maen saham lagi
karena sudah rugi terlalu besar. Sebenarnya, seorang manajer yang berkualitas
pun belum tentu bisa langsung membawa timnya ke tangga juara, seperti semalam,
Manchester United lagi-lagi keok ditangan tim semenjana, Leicester City,
padahal mereka sudah ditangani oleh pelatih yang kemarin sukses membawa Belanda
menempati peringkat ketiga Piala Dunia 2014: Louis van Gaal. Okay, Meneer van
Gaal pun mungkin melakukan kesalahan tertentu yang menyebabkan MU kalah, tapi
bisakah anda bayangkan bakal seperti apa hasilnya jika van Gaal hanya asal
comot pemain tanpa analisis apakah sesuai dengan kebutuhan tim, dan semacamnya?
Okay, lalu pertanyaan berikutnya, kapan kita
bisa ‘mengocok ulang’ komposisi portofolio, alias menjual saham yang tertentu, meng-hold
selebihnya, dan membeli saham-saham baru?
Tidak ada jawaban pasti akan pertanyaan ini,
karena jawabannya bisa beda-beda tergantung siapa yang ditanya. Beberapa trader
yang kecanduan trading mungkin akan mengocok portofolionya setiap saat selama
jam trading, dimana ia bisa membeli saham tertentu di pagi hari, dan menjualnya
pada sore harinya, dan besoknya ganti saham lagi. Namun sayangnya berdasarkan
pengalaman banyak kawan-kawan trader, termasuk pengalaman penulis sendiri dulu,
keseringan mengocok seperti itu tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali
kerugian. Ingat bahwa arisan-pun tidak dikocok setiap hari bukan?
Sementara kalau anda mau mencontoh strategi portfolio
rebalancing ala manager klub sepakbola, maka anda bisa melakukan melirik
kembali portofolio anda setiap enam bulan sekali. Sebenarnya pasar saham
membuka ‘transfer window’-nya hampir setiap hari, yakni dari hari Senin sampai
Jumat, pukul 09.00 – 16.00 WIB, namun anda bisa menerapkan transfer window anda
sendiri, katakanlah setiap enam bulan sekali, yakni pada akhir tahun dan akhir
bulan Juni. Beberapa pakar investasi di masa lalu seperti John Maynard Keynes, menyarankan
kepada investor untuk mengunjungi portofolio-nya setahun sekali saja, sementara
waktu selebihnya gunakan untuk ‘minum sampanye, pergi keluar dan menikmati
hidup’.
However, kalau kita hanya berlibur
saja sepanjang tahun, maka bisa jadi liburan itu sendiri justru akan terasa
membosankan. Jadi keputusan untuk hanya melirik koleksi pegangan saham setahun
sekali mungkin bukanlah ide yang terlalu bagus. So, disini penulis akan share
apa saya lakukan selama ini. Ingat bahwa penulis adalah full time investor,
sehingga diluar kegiatan ‘kocok mengocok’ saham, menulis blog ini, baca-baca
tentang investasi, hingga menyelenggarakan seminar, saya lebih banyak
jalan-jalan atau maen Playstation saja dirumah, alias liburan (meski gak pake minum
sampanye juga). And here we go!
Pertama, meski penulis terbilang jarang trading
saham apalagi mengamati running trade, namun minimal sebulan sekali saya selalu mengecek kondisi portofolio, yakni
pada awal bulan (tanggal 1 atau 2) untuk mengetahui saham-saham apa saja yang
naik, saham mana yang mungkin malah turun, dan mempelajari posisi IHSG, apakah
pada bulan depan kemungkinan dia akan naik atau terkoreksi. Penulis katakan minimal, karena pada tanggal-tanggal
tertentu diluar tanggal 1 atau 2, saya juga bisa saja membeli atau menjual
saham tertentu, tapi itu bukan karena saya melototin monitor komputer setiap
hari, melainkan kalau terjadi peristiwa
luar biasa tertentu. Contohnya, beberapa waktu terakhir ini penulis banyak
mendengar keluhan dari teman-teman bahwa United
Tractors (UNTR) entah kenapa turun, padahal gak ada masalah apa-apa. Karena
kebetulan penulis tidak memegang UNTR ini sebelumnya, dan memang masih ada
sedikit cash, maka penulis kemudian mengamati UNTR ini hingga pada titik
tertentu saya mungkin memutuskan untuk membelinya, jika tampak bahwa dia akan
kembali rebound. Dan keputusan untuk membeli tersebut tidak perlu menunggu
sampai akhir bulan/awal bulan berikutnya.
Sedikit catatan, Buffett pernah ditanya soal
kapan waktunya beli saham? Dan beliau menjawab, ketika kamu menemukan saham
murah, dan kamu punya uangnya! Jadi kerjaan value investor itu adalah hunting
saham-saham murah, gak perlu setiap hari (pas lagi mood aja juga boleh),
dan kalau ketemu maka belilah saat itu juga, alias nggak perlu menunggu akhir bulan
apalagi akhir tahun.
Dan kedua, diluar kerjaan rutin tiap bulan
diatas, penulis juga senantiasa mempelajari laporan keuangan para emiten setiap
kali laporan keuangan ini keluar setiap kuartal, alias setiap tiga bulan sekali. Jika ada pegangan saham yang kinerja
perusahaannya ternyata tidak lagi sebagus sebelumnya, maka mungkin sahamnya
akan dilepas dulu, mungkin untuk nanti dibeli kembali atau dilupakan sama
sekali. Dan jika ada perusahaan yang kinerja tampak meyakinkan, maka sahamnya
boleh dibeli.
Jadi kalau bagi penulis sendiri, ‘transfer
window’-nya dibuka setiap awal bulan Januari - Februari, April, Agustus, dan November,
alias empat kali setahun. Diluar pengaruh faktor kenaikan/koreksi pasar yang
bisa terjadi setiap saat, pada waktu-waktu itulah penulis paling banyak menjual
atau membeli saham tertentu.
Cara Menjaga Agar Komposisi Portofolio Tetap
Terkendali
Kemudian, anda harus menjaga jumlah saham yang
anda pegang agar tidak terlalu banyak.
Analoginya balik lagi ke klub sepakbola: Terserah mereka mau seberapa sering
menjual atau membeli pemain, namun peraturan internasional menyebutkan bahwa jumlah
pemain di dalam sebuah tim adalah maksimal 32
orang (diluar tim junior), yakni 11 pemain inti, 11 pemain cadangan, dan selebihnya
pemain lapis tiga. Artinya jika Manchester United mau membeli 1 orang pemain
baru, sementara jumlah anggota tim-nya sudah mentok 32 pemain, maka manajemen
klub harus melepas satu pemain yang sudah ada, entah itu menjualnya atau
memutus kontraknya (jika dia nggak laku dijual).
Disisi lain, sebuah klub juga harus memiliki
minimal 16 pemain jika hendak ikut
kompetisi, alias gak boleh kurang dari itu, dan itu tentu saja bisa dijelaskan.
Bisakah anda bayangkan jika Real Madrid hanya punya persis 11 pemain tanpa
adanya pemain cadangan sama sekali? Bagaimana jika kemudian Cristiano Ronaldo
atau Gareth Bale cedera? Siapa yang menggantikan?
So, di saham juga anda harus menetapkan berapa maksimal anda bisa memegang saham-saham
yang berbeda, dan juga berapa
minimalnya. Jika anda sejak awal memutuskan bahwa anda hanya bisa memegang maksimal
sepuluh saham, maka ketika anda tertarik untuk membeli saham nomor sebelas,
anda harus menjual salah satu pegangan anda sehingga jumlah saham yang anda
pegang tetap sepuluh saham. Yang menetapkan batas maksimal 10 saham itu adalah
anda sendiri, jadi jangan pernah melanggar peraturan yang anda buat sendiri.
Disisi lain anda juga harus menetapkan jumlah
minimal saham yang bisa anda pegang, karena akan sangat berisiko jika
anda menempatkan seluruh dana yang tersedia hanya pada satu atau dua
saham. Jika anda menetapkan minimalnya tiga
saham, misalnya, maka ketika anda menjual hampir seluruh pegangan
(misalnya
karena anda melihat bahwa IHSG sebentar lagi bakal anjlok), tetap
sisakan
tiga saham di portofolio anda, biasanya merupakan saham-saham yang sejak
awal
anda memutuskan untuk memegangnya dalam
jangka panjang, dimana kalau nanti harganya turun maka itu nggak masalah, karena
anda bisa membelinya lagi menggunakan strategi Dollar Cost Averaging (DCA). Berdasarkan pengalaman penulis sendiri, tindakan
untuk ‘sapu bersih’ portofolio hanya karena khawatir bahwa pasar akan jatuh
justru merugikan diri sendiri dimana saya jadinya ketinggalan kereta (atau
merealisasikan kerugian yang seharusnya masih floating) ketika IHSG kemudian
berbalik naik, dan masalahnya kita tidak bisa mengetahui secara persis kapan
pasar akan naik atau turun.
Sumber: TeguhHidayat.Com, gambar dari hasil pencarian Google.
Posting Komentar