Pak Teguh Hidayat menulis:

Bicara tentang United Tractors (UNTR), maka kita berbicara tentang perusahaan terbesar di Indonesia di dua bidang sekaligus yakni jual beli alat-alat berat dan jasa kontraktor tambang batubara, dan merupakan salah satu dari sepuluh saham dengan kapitalisasi pasar terbesar di BEI (berfluktuatif, terkadang UNTR keluar dari daftar sepuluh besar tersebut kalau harga sahamnya lagi turun). UNTR juga memiliki sejarah kinerja yang sangat solid dalam jangka panjang, dimana sejak industri batubara mulai booming di Indonesia sejak awal dekade 2000-an, UNTR terus berkembang hingga kini berstatus sebagai anak perusahaan sekaligus kontributor pendapatan terbesar kedua (setelah bisnis otomotif) dari Astra International (ASII). Yup, dari total pendapatan ASII senilai Rp150.6 trilyun hingga Kuartal III 2014, Rp40.8 trilyun diantaranya berasal dari UNTR. 


Melihat ukurannya saat ini, mungkin sulit untuk mempercayai bahwa UNTR tadinya (ketika perusahaan berdiri pada tahun 1972) hanya merupakan perusahaan kecil di bidang distribusi alat-alat berat merk Komatsu, Tadano, dan Bomag. Dan hingga hampir dua puluh tahun berikutnya UNTR tidak mengalami perkembangan usaha yang berarti. Setelah perusahaan diakuisisi oleh Grup Astra pada penghujung dekade 1980-an (sehingga secara otomatis mengalami pergantian manajemen), barulah UNTR mulai berekspansi, ditandai dengan menggelar IPO di Bursa Saham, dan masuk ke industri jasa kontraktor tambang batubara dengan mendirikan PT Pamapersada Nusantara (PAMA). Pendirian PAMA ini kemudian terbukti sukses besar, dimana di tangan Grup Astra, PAMA kemudian sukses menjadi perusahaan kontraktor tambang batubara terbesar di Indonesia pada saat ini, dengan pangsa pasar sekitar 45% pada akhir tahun 2013. 

Sementara di bisnis aslinya yakni jual beli alat-alat berat, UNTR juga terus berkembang. Dari awalnya hanya memegang hak distribusi untuk tiga merk alat-alat berat (Komatsu, Tadano, dan Bomag), UNTR kini juga jualan alat-alat berat merk Komatsu Forest, UD Trucks, dan Scania Bus (dan mungkin akan bertambah lagi di masa mendatang). Tidak hanya jual beli, UNTR juga menyediakan layanan solusi yang lengkap terkait alat-alat berat, seperti konsultasi lapangan, memberikan rekomendasi penyediaan dan penggunaan alat-alat berat yang optimal, layanan purna jual dan servis alat-alat berat, layanan jual beli spare parts, hingga garansi dukungan produk. Sedikit berbeda dengan PAMA yang sudah menjadi perusahaan nomor satu di industri kontraktor batubara, bisnis alat-alat berat milik UNTR masih harus bersaing ketat dengan Grup Trakindo, yang merupakan distributor alat-alat berat merk Caterpillar, untuk menjadi perusahaan alat-alat berat (atau disebut juga ‘mesin konstruksi’) terbesar di Indonesia (namun dengan pangsa pasar 40%, UNTR masih berada satu langkah didepan Trakindo). 

Sukses di bidang alat-alat berat dan kontraktor tambang batubara, pada tahun 2007 UNTR mulai masuk ke industri tambang batubara itu sendiri. Hingga Kuartal III 2014, UNTR sudah memegang setidaknya sepuluh konsesi batubara dengan cadangan batubara lebih dari 409 juta ton, yang menjadikan UNTR sebagai perusahaan batubara kelas menengah di Indonesia (jauh lebih kecil dibanding ADRO, BUMI, PTBA, namun lebih besar dibanding KKGI, HRUM, GTBO). Sayangnya perusahaan kehilangan momentum ketika harga batubara sempat booming pada tahun 2011, dimana ketika itu mayoritas konsesinya belum sempat berproduksi. Pada tahun 2014 ini, terdapat setidaknya dua konsesi tambangnya yang sudah siap beroperasi secara full, namun perusahaan belum mulai melaksanakan penambangan batubara secara skala penuh karena masih menunggu harga batubara pulih. Alhasil, hingga Kuartal III 2014, dari total pendapatan UNTR senilai Rp40.8 trilyun, hanya Rp3.9 trilyun yang berasal dari penjualan batubara. Dalam kesempatan public expose yang terakhir, manajamen UNTR menyatakan bahwa mereka tidak akan terburu-buru untuk menggali batubara yang mereka miliki, melainkan tunggu saja dulu sampai harga jual batubara pulih dengan sendirinya. 

Ekspansi UNTR terus berlanjut (dan ini adalah salah satu alasan kenapa penulis suka sama perusahaan ini, selain karena fakta bahwa ia dikelola manajemen sekelas Grup Astra, yakni bahwa setiap tahunnya UNTR selalu melakukan ekspansi bisnis, entah itu dengan cara mendirikan anak usaha baru, menjalin kerjasama dengan perusahaan lain, dll, tanpa banyak gembar gembor! Sehingga tak heran jika perusahaannya berkembang terus secara signifikan). Pada tahun 2014 ini, UNTR masuk ke venture baru dengan mengakuisisi 50.1% saham PT Acset Indonusa, Tbk (ACST), sehingga UNTR praktis menjadi pemegang saham pengendali ACST, dan ACST menjadi anggota baru di keluarga besar Grup Astra. Tidak disebutkan berapa nilai akuisisinya, namun penulis percaya bahwa itu dilakukan pada harga yang wajar. Beberapa analis sekuritas menilai bahwa tindakan UNTR ini (yang mengakuisisi ACST), merupakan tindakan yang bisa berdampak buruk pada kinerja UNTR secara keseluruhan, karena ditengarai akan menyebabkan UNTR kehilangan fokus karena perusahaan sebelumnya tidak pernah bermain di sektor konstruksi.

However, penulis justru menilai bahwa langkah UNTR tersebut merupakan langkah yang bagus. Sejak awal, Grup Astra sudah tertarik untuk masuk ke bisnis properti dan kontraktor properti/konstruksi, dan itu sebabnya ASII melalui salah satu anak usahanya (bukan UNTR) mulai mendirikan Menara Astra sejak tahun 2013 lalu, dengan bekerja sama dengan perusahaan properti asal Hong Kong, yang sama-sama berstatus sebagai anak usaha dari Grup Jardine, Hong Kong (ASII adalah anak usaha dari Grup Jardine tersebut). Sementara untuk bisnis konstruksi, ketimbang capek-capek mendirikan perusahaan konstruksi sendiri kemudian merintis semuanya dari nol, maka jauh lebih baik untuk mengakuisisi perusahaan konstruksi yang kecil namun bisa menjadi besar suatu hari nanti. Dan dengan track record kinerja yang excellent dalam beberapa tahun terakhir, ACST merupakan pilihan yang terbaik, dimana dengan dukungan permodalan dan lain-lain yang luar biasa dari Grup Astra, ACST sangat berpeluang untuk menjadi perusahaan konstruksi yang besar suatu hari nanti (dan kalau melihat track record Grup Astra yang nyaris selalu sukses di bidang usaha apapun yang mereka masuki, maka peluang ‘menjadi besar’ tersebut terbilang terbuka). Saat ini ACST hanyalah perusahaan konstruksi yang relatif kecil dibanding Adhi Karya dkk, dengan nilai aset hanya Rp1.4 trilyun pada Kuartal III 2014.

Kemudian kenapa masuknya melalui UNTR? Ya karena UNTR ini sudah berpengalaman sebelumnya dalam bisnis jual beli alat-alat berat untuk proyek konstruksi (catat bahwaUNTR selama ini nggak cuma melulu jualan alat-alat berat untuk tambang batubara), alias matching dengan jenis bisnis yang dijalani ACST. Adalah konyol jika ASII mengakuisisi ACST secara langsung atau melalui Astra Graphia (ASGR), misalnya, karena nggak bakal nyambung.

So, hingga ketika artikel ini ditulis maka UNTR telah memiliki setidaknya empat jenis usaha: 1. Distribusi alat-alat berat, 2. Kontraktor tambang batubara, 3. Tambang batubara, dan 4. Konstruksi. Menurut penulis, itu adalah kombinasi usaha yang bagus dan saling melengkapi, dimana tambang batubara membutuhkan kontraktor, dan kontraktor membutuhkan alat-alat berat. Dan selain alat-alat berat untuk tambang batubara, UNTR juga bisa menyediakan alat-alat berat untuk keperluan konstruksi bagi ACST, yang tidak lain merupakan anak usahanya sendiri (UNTR sebenarnya bisa juga masuk ke bisnis perkebunan kelapa sawit, karena perusahaan juga menjual alat-alat berat untuk perkebunan, namun itu tidak dilakukan karena bisnis kebon sawit sudah dipegang saudaranya, Astra Agro Lestari/AALI).

Lalu apa yang menyebabkan saham UNTR turun akhir-akhir ini?

Kalau kita menilik kinerja UNTR di Kuartal II 2014 kemarin yang kembali solid dimana labanya naik 41.4% (setelah pada tahun 2012 dan 2013, laba UNTR sempat turun), maka penurunan saham UNTR dari 24,000-an hingga mencapai 18,000-an pada saat ini (kemarin malah sempat menyentuh 16,850, tapi langsung naik lagi), sekilas menjadi tampak tidak bisa dijelaskan secara fundamental. However, faktanya adalah, ketika saham UNTR berada di posisi puncaknya yakni 24,000-an, maka itu berarti bahwa dia sudah naik lebih dari 30% sejak awal 2014, dan itu adalah kenaikan yang terlalu optimis mengingat sektor batubara sejatinya belum pulih benar. Dan faktanya pada harga 24,000, UNTR (berdasarkan laporan keuangannya di Kuartal II 2014) mencatatkan PER 14.1 dan PBV 2.5 kali, alias tidak bisa dikatakan murah, sekali lagi, dengan mempertimbangkan situasi sektornya. Sepertinya investor yang masuk ke UNTR ini terlalu silau dengan kinerja perusahaan di awal-awal tahun 2014, dimana UNTR sukses membukukan kenaikan laba bersih hingga diatas 40% sementara ada banyak perusahaan batubara atau perusahaan kontraktor batubara yang lain yang labanya masih nyungsep di tahun 2014 ini.

Beruntung, hingga Kuartal III barusan, UNTR masih sukses menjaga kinerja solid-nya tersebut, dimana meski perusahaan sempat membagikan dividen senilai Rp727 milyar namun ekuitasnya masih bertumbuh total 8.5% sejak awal tahun 2014, dan labanya juga masih tumbuh diatas 40%. Secara operasional, UNTR masih mengalami penurunan penjualan alat-alat berat, terutama alat-alat berat untuk tambang batubara dan perkebunan (sementara alat-alat berat untuk konstruksi dan kehutanan, volume penjualannya masih meningkat). Namun entah bagaimana caranya, nilai pendapatan perusahaan dari penjualan alat-alat berat masih bisa naik sedikit menjadi 17.3 trilyun hingga Kuartal III 2014, dibanding Rp17.0 trilyun pada periode yang sama tahun 2013.

Dan yang terutama menyebabkan laba UNTR kembali naik, adalah karena PAMA sebagai anak usahanya sukses dalam hal meningkatkan efisiensi pekerjaannya sebagai kontraktor tambang. Hingga Kuartal III 2014, PAMA telah menggali dan mengangkat setidaknya 89.9 juta ton batubara, meningkat signifikan dibanding periode yang sama tahun 2013 sebanyak 78.5 juta ton, padahal volume overburden (lapisan tanah yang diangkut agar batubara yang terletak dibawahnya bisa diambil) turun dari 639.5 menjadi 605.5 juta bcm. Ini artinya PAMA menggali lebih sedikit, tapi menghasilkan batubara lebih banyak (stripping ratio-nya menjadi lebih kecil, penjelasannya dibawah). Alhasil UNTR mencatatkan laba Rp5.4 trilyun dari bisnis kontraktor tambang batubaranya, atau meningkat signifikan dibanding tahun sebelumnya yang hanya Rp3.4 trilyun.

(catatan: kalau anda masih bingung soal apa itu bedanya tambang batubara dengan kontraktor tambang batubara, baca penjelasannya disini. Intinya sih, perusahaan tambang batubara adalah pemilik dari batubara hasil galian. Sementara perusahaan kontraktor tambang batubara, mereka cuma menggali batubara milik perusahaan lain, kemudian dibayar untuk pekerjaan menggalinya tersebut).

Sementara untuk bisnis tambang batubara dan konstruksi, belum banyak yang bisa diceritakan karena UNTR masih mengalami kerugian (meski tidak signifikan) dari bisnis tambang batubaranya, dikarenakan penurunan harga jual batubara. Untuk pendapatan dari bisnis konstruksi juga mungkin baru akan dikonsolidasikan pada tahun depan, karena ACST baru diakuisisi pada tanggal 10 Oktober kemarin. Beruntung, sekitar 60 – 65% pendapatan UNTR berasal dari kontraktor batubara, dan justru bisnis kontraktor batubara inilah yang sedang tumbuh pesat setelah PAMA sukses meningkatkan efisiensi kinerjanya. Sekedar informasi, pendapatan perusahaan kontraktor tambang batubara tidak tergantung pada harga jual dari batubara, melainkan tergantung stripping ratio-nya, yakni perbandingan antara jumlah batubara yang digali dengan jumlah lapisan tanah yang dipindahkan. Semakin kecil angka stripping ratio tersebut, maka semakin sedikit volume tanah yang harus dipindahkan untuk jumlah batubara yang sama, sehingga biaya penggalian yang harus dikeluarkan si kontraktor menjadi semakin sedikit pula (sehingga margin labanya menjadi semakin besar). Soal batubaranya dijual pada harga berapa, itu menjadi urusan perusahaan pemilik tambang batubara-nya, bukan lagi urusan PAMA sebagai kontraktor.

Jadi karena itulah, penulis menganggap bahwa UNTR masih menawarkan prospek yang menarik (termasuk untuk jangka panjang), terutama, sekali lagi, karena perusahaan ini dikelola oleh manajemen sekelas Grup Astra. Malah jika nanti harga batubara akhirnya pulih kembali (dan saya pribadi termasuk yang percaya bahwa itu akan terjadi suatu hari nanti), maka UNTR bisa memaksimalkan konsesi-konsesi batubaranya, sehingga pendapatannya pun akan meningkat signifikan. Beberapa investor mungkin khawatir dengan kabar bahwa UNTR telah melakukan restrukturisasi beberapa anak-anak usahanya, dimana hal itu dikhawatirkan akan mengganggu kinerja perusahaan, dan itu sebabnya sahamnya kemudian turun. Namun faktanya, restrukturisasi tersebut justru bertujuan agar perusahaan lebih fokus dalam menjalankan bisnis kontraktor tambang batubara.

Jadi restrukturisasinya seperti ini: UNTR memiliki anak usaha bernama PT Tuah Turangga Agung (TTA), yang merupakan pemilik dari enam konsesi tambang batubara (jadi UNTR, melalui TTA, adalah pemilik dari enam konsesi tambang). Kemudian, melalui PAMA yang notabene merupakan perusahaan kontraktor tambang (bukan tambang batubara itu sendiri), UNTR juga memiliki empat konsesi lagi (jadi totalnya sepuluh konsesi). Agar PAMA tetap fokus pada kegiatan usahanya sebagai kontraktor tambang, maka keempat konsesi tersebut kemudian dialihkan semuanya ke TTA (‘restrukturisasi’), sehingga UNTR tetap memiliki sepuluh konsesi tambang batubara, namun kali ini semuanya melalui TTA, bukan PAMA. Dengan demikian, PAMA bisa kembali fokus pada usaha kontraktor tambang batubara, sementara untuk urusan tambang batubara, UNTR bisa menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada manajemen TTA. So, ndak ada masalah bukan? Kata 'restrukturisasi' mungkin berkonotasi negatif jika itu dilakukan oleh Grup Bakrie, but don’t worry, we talk about ASTRA here.

Okay, jadi apakah dengan demikian UNTR pada harga saat ini (18,375) layak buy?

Well, sebelum menjawab pertanyaan diatas, maka pertama-tama kita pelajari dulu ‘karakter’ saham blue chip seperti UNTR ini. Sebagai perusahaan yang 1. Punya nama besar, 2. Merupakan market leader di bidangnya, 3. Merupakan bagian dari grup usaha sebesar Astra, 4. Memiliki track record kinerja yang cemerlang dalam jangka panjang, dan 5. Sahamnya sangat likuid, maka adalah wajar jika saham UNTR dihargai relatif mahal oleh para investor. Pada tahun 2011 lalu dimana bisnis tambang batubara sedang jaya-jayanya, UNTR sempat terus naik hingga menyentuh level 33,000, yang mencerminkan PBV lebih dari 5 kali (berdasarkan posisi ekuitas perusahaan ketika itu). Sementara pada waktu-waktu yang lain, PBV UNTR biasanya berada di rentang 2.5 – 3.5 kali.

However, pada waktu-waktu tertentu terkadang UNTR turun hingga valuasinya tidak lagi semahal biasanya. Misalnya ketika tahun 2013 lalu dimana laba UNTR memang turun, atau seperti pada saat ini, ketika UNTR dihantam berbagai sentimen negatif terkait restrukturisasi tadi, dan juga pelemahan harga batubara. Padahal yaa, kinerja perusahaannya bisa anda lihat sendiri: No problemo!

Jadi kalau bagi penulis pribadi kesimpulannya cukup jelas: It’s an opportunity. You know, di BEI nggak setiap hari ada saham blue chip murah seperti ini, dan UNTR adalah saham yang penulis admire sejak dulu namun selalu nggak jadi beli karena harganya selalu kemahalan (sementara pada tahun 2013 lalu, laba perusahaan masih turun). Sementara kalau berkaca pada pengalaman dimana saham-saham blue chip berfundamental bagus lainnya seperti Perusahaan Gas Negara (PGAS), Unilever Indonesia (UNVR), hingga Jasa Marga (JSMR) yang juga sempat turun sangat dalam karena sentimen negatif tertentu namun toh pada akhirnya naik lagi (karena kinerja perusahaannya sama sekali gak kenapa-napa kok), maka seharusnya demikian pula dengan UNTR! Gak usah jauh-jauh, kalau nanti UNTR ini balik lagi ke 22,000 saja, maka gain-nya sudah mendekati 20% bukan? Jadi sekali lagi, it’s an opportunity. Apalagi kita tahu bahwa Pemprov DKI sedang berencana untuk menambah armada bis Transjakarta merk Scania, dimana UNTR adalah distributor utama Scania Bus di Indonesia.

Hanya saja, sudah tentu, setiap peluang selalu diiringi dengan faktor risiko. UNTR mungkin bisa lanjut turun, atau paling tidak tertahan pada level harganya saat ini, jika harga batubara kembali tertekan (kita tidak pernah tahu soal itu, dan bahkan Warren Buffett tidak pernah bisa memprediksi harga komoditas). Tapi diluar itu, well, this ‘blue thing’ is too beautiful to be ignored. 

Sumber: TeguhHidayat.Com, gambar dari hasil pencarian Google. 





Posting Komentar

 
Top