Pak Teguh Hidayat menulis: 

Pada bulan April 2014 lalu, Wijaya Karya (WIKA), salah satu perusahaan BUMN di bidang konstruksi di Indonesia, meng-IPO-kan salah satu anak usahanya yaitu Wijaya Karya Beton (WTON), dimana WTON sukses meraup tambahan modal senilai Rp1.2 trilyun hasil dari menerbitkan 2 milyar lembar saham baru (dan menjualnya ke publik) pada harga Rp590 per saham. Mengingat nilai ekuitas WTON sebelum IPO hanya Rp680 milyar, dimana setelah dibagi 6.7 milyar lembar saham (jumlah saham WTON sebelum IPO) maka hasilnya adalah Rp102 per saham, maka cukup jelas bahwa investor publik telah membayar saham baru WTON pada harga yang sangat mahal, yakni nyaris 6 kali lipat lebih tinggi (590 berbanding 102) dibanding harga yang dibayar WIKA sebagai pemegang saham mayoritas dari WTON. 

Meski demikian, mungkin karena kinerja WTON terbilang cukup baik sepanjang tahun 2014 lalu (laba perusahaan naik 33.6% dibanding tahun 2013), plus didorong oleh adanya sentimen positif terkait banyaknya rencana pembangunan infrastruktur oleh Pemerintah sepanjang tahun 2014 tersebut, maka WTON tetap naik signifikan hingga sempat menembus 1,400, atau naik lebih dari dua kali lipat dibanding harga perdananya (meskipun belakangan mulai longsor lagi, karena memang udah gak ketulungan mahalnya).

Nah, jadi ketika BUMN konstruksi lainnya, Pembangunan Perumahan (PTPP), mengikuti jejak WIKA dengan meng-IPO-kan salah satu anak usahanya, dalam hal ini PP Properti (kodenya belum ditentukan, tapi kita sebut saja PPRO), maka perhatian investor mungkin fokus pada pertanyaan berikut: Apakah PPRO bisa mengikuti jejak WTON yang sukses mencetak gain dua kali lipat?

Karena seperti halnya WTON yang pelaksanaan IPO-nya diurus oleh empat sekuritas sekaligus (jadi tukang jualan saham IPO-nya ada banyak), maka IPO PPRO kali ini bahkan diurus oleh lima sekuritas sekaligus. Penulis awalnya heran, kenapa kok saya menerima banyak sekali email pertanyaan dari teman-teman investor soal prospek dari IPO PP Properti ini? Tapi ternyata itu karena para investor tersebut memperoleh tawaran dari sekuritasnya masing-masing untuk ikut IPO-nya. Termasuk, iklan IPO PPRO ini juga ada dimana-mana, biasanya dalam bentuk artikel ulasan ‘prospeknya’ yang ditulis para analis sekuritas di media, baik itu media cetak maupun internet (but don’t worry, penulis bisa menjamin bahwa ulasan yang sedang anda baca disini adalah sepenuhnya independen sesuai pemikiran penulis sendiri).

Pendek kata, PPRO tampak menarik karena banyak yang mempromosikan, sementara perusahaannya sendiri belum tentu beneran bagus. Jika IPO PPRO hanya dipegang oleh satu sekuritas, maka mungkin IPO-nya juga tidak akan seheboh sekarang. Disisi lain, karena proses kelahiran PPRO ke Bursa Efek ini ‘dibidani’ oleh lima sekuritas sekaligus, maka peluangnya untuk sukses (baca: sahamnya naik) tetap terbilang besar kecuali jika fundamentanya memang sangat buruk, katakanlah seperti IPO GarudaIndonesia (GIAA) dulu.

Anyway, mari kita coba pelajari dulu PP Properti ini sejak awal.

Pada tahun 1991, PTPP yang sebelumnya hanya bergerak di bidang konstruksi, mulai melebarkan sayapnya dengan juga masuk ke bisnis developer properti, ketika itu dengan membangun Perumahan Otorita di Jatiluhur, Jawa Barat, kali ini dengan kapasitasnya sebagai developer pemilik proyek, bukan kontraktor. Seiring dengan berjalannya waktu, PTPP kemudian lebih banyak lagi mengerjakan proyek-proyek properti lainnya. Hingga pada tahun 2010, PTPP menjadikan portofolio properti-nya sebagai salah satu lini bisnis utama diluar konstruksi sebagai bisnis asli perusahaan. Dan pada tahun 2013, PT PP Properti (PPRO) secara resmi didirikan sebagai wadah dari unit-unit bisnis properti yang dimiliki PTPP.

Kalau melihat usia perusahaannya yang terbilang ‘kemarin sore’ maka praktis PPRO belum memiliki track record yang solid dalam jangka panjang, dimana laporan keuangannya hanya hanya ada sampai tahun 2013 karena perusahaan baru berdiri pada tahun 2013 tersebut (kalau dihitung dari tahun 1991 sejak PTPP masuk ke bisnis properti, maka PPRO ini juga baru berusia 24 tahun). Dengan nilai aset Rp2.7 trilyun pada akhir tahun 2014, maka ukuran perusahaan juga relatif kecil terutama jika dibandingkan dengan developer-developer papan atas di Indonesia. Terkait prospek pertumbuhan perusahaan kedepannya, PPRO juga tidak menawarkan prospek yang terbilang ‘wah’. Pada akhir tahun 2014, PPRO hanya memiliki landbank seluas 54 hektar yang akan dikembangkan dalam waktu 15 – 20 tahun kedepan (salah satunya dengan menggunakan dana hasil IPO-nya). Jika dibandingkan dengan landbank dari Bumi Serpong Damai (BSDE) yang mencapai lebih dari 7,000 hektar, misalnya, maka PPRO jelas gak ada apa-apanya, bahkan jika nanti perusahaan sukses menambah cadangan landbank-nya tersebut (PPRO berencana menggunakan sebagian dana hasil IPO-nya untuk membeli beberapa bidang tanah).

Meski demikian PPRO tetap memiliki keunggulan dalam posisinya sebagai anak usaha dari PTPP yang tentunya sudah cukup mapan sebagai perusahaan konstruksi, dan saham PTPP sendiri sukses naik banyak sejak IPO-nya pada tahun 2010 lalu di harga 560. Alhasil PTPP menjadi salah satu perusahaan konstruksi paling populer di Indonesia (atau minimal di tingkat investor di BEI), sehingga PPRO dengan sendirinya turut menjadi populer. Selain itu, kecilnya jumlah landbank milik perusahaan adalah karena PPRO belakangan ini lebih fokus pada pembangunan superblock, yang memang tidak membutuhkan tanah yang luas.

Dan mungkin faktor terpentingnya adalah, pada saat ini kinerja PPRO sedang dalam momentum pertumbuhan yang luar biasa karena kebetulan ada banyak proyek-proyek properti yang sudah digarap sejak tahun 2012 (ketika itu PPRO masih berstatus sebagai salah satu divisi dibawah PTPP), yang pada tahun 2014 kemarin mulai membuahkan hasil dimana laba perusahaan melonjak dibanding 2013 (persentase kenaikan secara persisnya tidak bisa dihitung karena laporan keuangan PPRO untuk tahun 2013 hanya untuk periode dua bulan, yakni November - Desember), dan seharusnya trend pertumbuhan tersebut masih akan berlanjut pada tahun 2015 ini. Per akhir tahun 2014, PPRO memiliki setidaknya 21 proyek pengembangan properti mulai dari Patria Park Hotel hingga Grand Slipi Tower, dimana ada banyak diantaranya yang sudah mulai ‘berbuah’ tapi ‘belum habis dipanen’.

Jadi berkaca pada pengalaman di WTON, maka jika pada Kuartal II 2015 nanti (PPRO akan listing perdana di BEI pada tanggal 19 Mei, sehingga perusahaan nggak akan sempat merilis LK Kuartal I 2015) PPRO kembali membukukan lonjakan laba bersih, maka sahamnya juga mungkin akan naik signifikan tak peduli meski valuasinya sudah mahal. Dalam hal ini kita tidak perlu berharap pada prospek terkait penggunaan dana hasil IPO yang diperoleh perusahaan, karena PPRO juga tentunya akan membutuhkan waktu yang tidak sebentar (minimal 2 – 3 tahun) untuk memberdayakan dana hasil IPO tersebut hingga menghasilkan tambahan keuntungan bagi perusahaan.

Lalu bagaimana dengan valuasi sahamnya? Apakah juga mahal seperti WTON dulu?

Bagi anda yang masih awam value investing, anda mungkin bingung bagaimana caranya menentukan apakah saham PP Properti ini mahal, wajar, atau murah, padahal sebenarnya sederhana saja kok. Pada IPO-nya nanti, PPRO akan melepas saham baru ke publik pada rentang harga Rp185 – 350 per saham. Sebelum IPO, nilai ekuitas PPRO tercatat Rp1.0 trilyun, sementara jumlah sahamnya adalah 9.1 milyar lembar. Maka, nilai saham PPRO adalah 1 trilyun dibagi 9.1 milyar, sama dengan Rp113 per saham. Jika saham baru PP Properti dilepas pada harga terendah yakni 185 per saham, maka itu artinya anda sebagai pemegang saham baru di perusahaan hanya perlu mengeluarkan dana dalam jumlah yang sedikit lebih besar (Rp185 berbanding Rp113, berarti 1.6 kalinya) dibanding modal yang disetor PTPP sebagai pemilik asli sekaligus penanggung jawab atas jalannya operasional perusahaan.

Dan menurut penulis itu adalah harga yang relatif murah, atau bahkan sangat murah jika dibanding IPO WTON setahun yang lalu. Jika PP Properti benar-benar dijual pada harga 185, dan jika pada Mei nanti IHSG paling tidak masih stabil di posisinya saat ini (5,400-an), maka saham PPRO berpeluang untuk naik signifikan sejak listing perdananya, dan kenaikannya tersebut akan berlanjut jika pada laporan keuangan terbarunya (Kuartal II 2015, akan terbit akhir Juli nanti) perusahaan masih sukses membukukan kinerja yang bertumbuh.

Namun jika PP Properti dilepas pada harga 350, maka tentunya dia tidak bisa dikatakan murah lagi. Selain itu peningkatan ekuitas dalam jumlah yang kelewat besar (karena besarnya dana perolehan hasil IPO-nya) juga akan menyebabkan ROE PPRO nantinya akan tampak sangat kecil, dan itu bisa membuat kinerja fundamental perusahaan menjadi tampak buruk sehingga malah menjadi katalis negatif bagi sahamnya. But well, mari kita berharap bahwa mudah-mudahan PP Properti ini akan dilepas pada harga yang 185, syukur-syukur bisa lebih rendah lagi (ya gak mungkin lah, just kidding!)

PT PP Properti, Tbk
Rating Kinerja Pada 2014: A
Rating Saham pada 185: AA 

Sumber: 
http://www.teguhhidayat.com/2010/05/price-earning-ratio-dan-price-to-book.html

Posting Komentar

 
Top