Pak Teguh Hidayat menulis: 

Dalam setiap kali kesempatan seminar/pelatihan value investing, penulis selalu memberi kesempatan kepada para peserta untuk bertanya terkait materi yang disampaikan, baik itu dalam acara seminarnya ataupun setelah seminarnya (melalui email). Beberapa peserta menanyakan pertanyaan yang bisa saya jawab dengan jawaban yang singkat, dan beberapa lagi membutuhkan jawaban yang agak panjang. Berikut adalah beberapa dari pertanyaan-pertanyaan tersebut plus jawabannya. Silahkan cek, anda mungkin pernah juga punya pertanyaan yang sama.

Saya hanya mau beli saham-saham yang likuid, dalam hal ini yang masuk daftar LQ45, atau istilahnya saham-saham blue chip. Tapi kenapa valuasinya mahal semua? Sangat jarang, kalau tidak mau dikatakan tidak ada, saham-saham LQ45 yang PER-nya kurang dari 7 kali, atau PBV-nya kurang dari 1.0 kali. Kalaupun ada biasanya fundamentalnya jelek, jadi gak layak buy juga. Jadi apa yang harus saya lakukan?


Sebenarnya jawaban atas pertanyaan ini terletak di pertanyaan itu sendiri, yakni ketika anda mengatakan ‘saya hanya mau beli saham-saham yang likuid’. Nah, kalau semua investor berpikir seperti itu (hanya mau membeli saham-saham yang likuid), maka tentu saja harga dari saham-saham likuid ini tidak akan pernah terlalu murah bukan? Karena selalu ada investor yang ingin membelinya (berbeda dengan saham-saham yang tidak likuid, yang bid-nya kadang ada kadang nggak).

Itu sebabnya dalam value investing, likuiditas merupakan salah satu elemen penting dalam menilai valuasi sebuah saham, dimana saham yang likuid sudah selayaknya dihargai sedikit lebih tinggi dibanding saham lain yang tidak likuid, dengan catatan bahwa kedua saham tersebut memiliki kualitas fundamental/kinerja perusahaan yang kurang lebih sama.

Setidaknya terdapat dua alasan kenapa para investor, baik ritel maupun institusi, lebih menyukai saham-saham yang likuid ketimbang yang tidak. Yang pertama adalah karena kemudahan untuk membeli/menjualnya. Saham yang likuid jauh lebih mudah untuk dijual/dibeli setiap saat karena itu tadi: Selalu ada orang yang pasang bid dan offer. Yang kedua adalah karena saham likuid relatif aman dari praktek bandar-bandaran, dimana pergerakan harganya benar-benar hanya tergantung pasar, sehingga pola pergerakannya tersebut biasanya bisa dipelajari menggunakan analisis teknikal. Hal yang berbeda terjadi pada saham non likuid, yang naik turunnya bisa dipengaruhi oleh tindakan investor besar tertentu yang menjual atau membelinya. Makanya kalau anda terbiasa pakai analisis teknikal, anda bisa lihat sendiri kalau chart dari saham-saham anggota LQ45 biasanya lebih ‘mulus’ ketimbang chart dari saham-saham ‘antah berantah’ bukan? 

Yang juga perlu diperhatikan, terkadang bukan seretnya likuiditas yang menyebabkan suatu saham menjadi dihargai lebih murah (dibanding saham lain dengan fundamental setara namun lebih likuid), melainkan justru sebaliknya: Saham tersebut sudah kelewat murah hingga para pemegangnya sudah tidak lagi mau menjualnya, biasanya karena masih berharap bahwa saham tersebut masih bisa naik lagi suatu hari (kalau sahamnya sudah ‘nggak ada harapan’ sih, maka sahamnya bakal meluncur turun terus sampai mentok di gocap), namun disisi lain juga belum ada investor yang pasang bid untuk membelinya. Karena itulah kemudian tidak terjadi transaksi, dan saham tersebut menjadi tidak likuid.

Kondisi ini seringkali terjadi pada perusahaan dengan fundamental bagus di masa lalu, namun pada saat ini kinerjanya terbilang buruk sehingga sahamnya pun turun signifikan hingga ke level harga yang ‘sudah tidak bisa lebih murah lagi’. Saham seperti ini biasanya akan sideways dalam jangka waktu yang cukup lama (dan dengan likuiditas yang seret), hingga akhirnya berbalik arah alias naik jika kinerja perusahaan yang bersangkutan membaik kembali (yang menyebabkan para investor berebut membeli saham tersebut). Contoh kasus ini yang pernah terjadi adalah saham Elnusa (ELSA), yang pernah turun sampai mentok dibawah 200 karena labanya turun sampai minus (rugi), namun kemudian naik lagi setelah perusahaan sukses mencatatkan laba kembali.

Faktor lain diluar likuiditas yang menyebabkan suatu saham layak dihargai lebih tinggi, adalah jika saham tersebut mewakili perusahaan yang memiliki nama besar alias terkenal. Sederhana saja: Jika anda disuruh pilih ponsel Samsung atau ponsel merk lainnya pada harga yang sama dan spesifikasi yang juga sama, maka anda akan pilih? Samsung, tentu saja. Dan faktanya meski ponsel Samsung (atau Apple) dihargai lebih tinggi dibanding Huawei, Evercoss, Xiaomi, Advan, dll, namun tetap saja lebih laris. Nah, hal yang sama juga terjadi pada saham, dimana anda tidak akan bisa menyamakan valuasi saham Bank BCA (BBCA) dengan Bank ICB Bumiputera (BABP), misalnya, bahkan jika kedua bank tersebut memiliki kualitas kinerja keuangan yang setara.

However, ini bukan berarti anda boleh menghargai saham-saham likuid dan punya nama besar dengan valuasi yang selangit. Jika anda menganggap bahwa saham A layak dihargai pada PBV 1.5 kali (dimana saham A ini non likuid dan perusahaannya tidak terkenal), maka saham B, yang fundamentalnya kurang lebih setara dengan saham A namun lebih likuid dan perusahaannya juga lebih terkenal, bolehlah dihargai pada PBV 2.0 kali. Tapi kalau saham B ini harganya kebetulan berada di level PBV 2.5 kali, maka ya tahan dulu cash anda. Intinya, setelah anda memberikan ‘toleransi’ bahwa saham-saham LQ45 dan blue chip memang layak dihargai lebih tinggi dibanding kebanyakan saham lainnya, namun ternyata tetap saja tidak ada satupun diantara mereka yang cukup murah untuk dibeli, maka tunggu dulu. Coba cek dulu posisi IHSG, kemungkinan memang sedang tinggi-tingginya.

Mas Teguh bilang bahwa Astra International (ASII) sudah cukup murah kalau bisa dibeli di 6,000 atau dibawahnya. Tapi kemarin ketika dia turun sampai 6,150 langsung naik lagi tuh. Gimana dong?

Salah satu prinsip dasar dalam menilai bahwa valuasi suatu saham terbilang mahal/wajar/murah adalah, tidak pernah ada angka yang pasti tentang di harga berapa suatu saham, entah itu ASII atau lainnya, sudah bisa dikatakan murah. Sebab tidak pernah ada dua orang investor pun yang bisa sepakat tentang di harga berapa suatu saham sudah layak buy. Contohnya, meski penulis menganggap bahwa ASII baru bisa dikatakan murah jika harganya turun sampai dibawah 6,000, namun jika ada banyak investor lain yang menganggap bahwa ASII sudah cukup murah dibawah 6,500, dan karena itulah mereka terus hajar kanan setiap kali ada investor yang menjual ASII di harga antara 6,000 – 6,500, maka tentu saja ASII tidak akan bisa turun lebih rendah dari 6,000 bukan? Lha wong ada yang ‘ngeganjel’ kok.

Sebaliknya, meski saya menganggap bahwa ASII sudah murah di 6,000, namun jika terjadi kondisi tertentu dimana para pemegang saham ASII panik dan ramai-ramai melepas saham mereka, maka ASII bisa turun lebih dalam lagi, mungkin bisa sampai 5,500, 5,000, dan seterusnya. Intinya, hanya karena anda (atau saya) menganggap bahwa ASII sudah murah di 6,000, maka bukan berarti ASII tidak bisa turun lebih rendah lagi dari itu.

Jadi solusi untuk mengatasi hal ini adalah dengan menerapkan pembelian secara bertahap. Contohnya kalau pakai kasus ASII, maka meski anda mungkin menganggap bahwa level harganya yang cukup murah adalah dibawah 6,000, namun kalau ASII sudah berada di level dibawah 6,500 setelah sebelumnya lama berkutat di 7,000-an, maka anda sudah boleh masuk sedikit-sedikit. Dengan cara ini, maka jika nanti ASII terus turun hingga dibawah 6,000, maka anda bisa kembali membelinya, kali ini dalam jumlah yang lebih banyak, karena sebelumnya kan anda hanya membelinya dalam jumlah sedikit. Namun jika ASII tidak sampai turun hingga dibawah 6,000 dan langsung naik lagi, maka anda tetap untung karena sudah pegang barang. Dan sisa dana anda yang nggak kepake (karena ASII nggak turun sampe dibawah 6,000) bisa dialokasikan untuk saham-saham lain.

Tapi bagaimana kalau ASII terus turun hingga 6,000, 5,500, atau bahkan 5,000? Misalnya jika IHSG turun? Nah, jika kejadiannya demikian, maka pada satu titik tertentu anda akan (pada akhirnya) kehabisan dana cash, dan posisi anda jadinya nyangkut. Namun jangan khawatir karena toh pada akhirnya, selama saham yang anda pilih memang tepat dan anda membelinya di harga yang tidak terlalu tinggi, smaka aham anda tersebut akan naik lagi. Kondisi ini pernah penulis alami beberapa kali, salah satunya ketika tahun lalu mulai menyicil beli BBRI di 7,500, dan beli lebih banyak lagi ketika BBRI sudah berada dibawah 7,000. Namun nyatanya, seiring dengan pelemahan IHSG ketika itu, BBRI terus saja longsor hingga sempat menyentuh 6,150 sebagai titik terendahnya. Alhasil posisi kita jadi nyangkut! Tapi yah, lihat sendiri udah berapa BBRI sekarang? (meski, harus saya akui, saat ini saya sudah melepasnya untuk nanti masuk lagi kalau dikasih harga murah).

Boleh saya minta konfirmasi tentang berapa lama itu ‘jangka pendek’, ‘jangka menengah’, dan ‘jangka panjang’?

Beberapa literatur menyebutkan bahwa jangka pendek itu 1 – 2 tahun, jangka menengah itu 3 – 5 tahun, dan jangka panjang itu adalah sampai 10 tahun. However, sebagai full time investor, dan karena pasar saham Indonesia termasuk perkembangan kinerja dari sektor-sektor didalamnya memang sangat fluktuatif, maka penulis memilih untuk lebih realistis. In my opinion, jangka pendek adalah 1 – 3 bulan (atau kurang dari itu), jangka menengah adalah 3 bulan hingga 1 tahun, dan jangka panjang adalah diatas 1 tahun. Ada beberapa saham di porto kami yang sudah kami pegang selama lebih dari satu tahun, namun jujur saja, jumlahnya tidak terlalu banyak dibandingkan saham-saham lain yang mungkin bisa kami jual/beli kembali dalam waktu kurang dari satu tahun. You know, setiap kali kami memandang bahwa pasar mungkin akan turun, maka kami akan ‘cuci gudang’ dulu, tak peduli meski saham tersebut harganya masih kami anggap murah.

Dan salah satu salah kaprah yang perlu diluruskan disini adalah, value investing bukanlah soal investasi jangka panjang atau trading jangka pendek, melainkan strategi untuk membeli saham bagus pada harga yang serendah-rendahnya. Ketika anda memperoleh saham bagus pada harga murah, maka seringkali cuma soal waktu sebelum harga saham tersebut akan naik hingga akhirnya tidak bisa dikatakan murah lagi. Nah, ‘waktu’ tersebut bisa sangat sebentar (baru anda beli, sorenya udah terbang), satu atau dua minggu, beberapa bulan, hingga beberapa tahun. Yang diingat orang mungkin hanya yang ‘beberapa tahun’ ini, sehingga kesannya value investing adalah pasti investasi jangka panjang. Padahal kalau anda beli beberapa saham blue chip ketika IHSG masih nyungsep awal tahun 2014 lalu, maka belum genap satu tahun, keuntungan yang anda peroleh sudah cukup besar bukan? Dan anda akan selalu memiliki opsi untuk keluar dulu atau switch ke saham lain, jika harga dari saham yang anda pegang, setelah anda pelajari lagi, sudah tidak bisa dikatakan murah lagi.

Hanya memang, value investor cenderung menghindari trading yang berlebihan, apalagi swing trading seperti yang sering dilakukan oleh trader yang mengira bahwa dirinya adalah Michael Schumacher. We do trade, only with a little bit patience.

Apakah Mas Teguh pake Discounted Cashflow (DCF) atau Dividend Discounted Model (DDM) dalam menghitung valuasi saham?

Tidak. Saya bahkan tidak mengerti apa itu DDM (kalau DCF sih ngerti sedikit). Namun yang saya tahu, Buffett pun tidak menggunakan dua teknik tersebut. Kalau anda baca annual letter Berkshire Hathaway (yang ditulis langsung oleh Buffett sendiri), kakek awet muda ini nggak pernah menyebutkan teknik valuasi lain selain PBV, PER, dan dividend yield, plus satu lagi yakni teknik menghitung nilai intrinsik saham seperti yang dipaparkan di sini. Kalau anda baca-baca buku tentang cara investasi Warren Buffett yang ditulis oleh orang lain, maka barulah anda akan menemukan DCF, DDM, dan mungkin juga teknik-teknik valuasi lainnya. However, saya menganggap bahwa si penulis mungkin sengaja menambahkan teknik-teknik tetek bengek tersebut agar bukunya jadi tampak tebal saja.

Sumber: TeguhHidayat.Com, gambar dari hasil pencarian Google. 



Posting Komentar

Posting Komentar

 
Top