Konsep Margin of Safety (MOS), dalam hubungannya dengan investasi saham,
sebenarnya sangat sederhana, yaitu: MOS adalah selisih dari harga saham
dengan nilai intrinsik (intrinsic
value) saham tersebut. So, katakanlah saham A memiliki nilai intrinsik Rp1,500.
Jika anda membeli saham A tersebut pada harga Rp1,000, maka diskon atau MOS-nya
adalah sebesar Rp500. Berdasarkan konsep MOS ini, maka seorang investor baru
boleh dikatakan telah melakukan keputusan investasi yang tepat, jika ia membeli
saham pada harga yang lebih rendah dari
nilai intrinsik saham tersebut, semakin rendah tentunya semakin baik. Namun
tentu hal ini menimbulkan pertanyaan baru: Apa itu yang dimaksud dengan nilai
intrinsik? Dan bagaimana cara menghitungnya?
Konsep MOS pertama kali diperkenalkan oleh investor guru, Benjamin Graham, dan partnernya, David Dodd, pada
tahun 1928, dengan poin utamanya adalah menentukan nilai intrinsik tadi. Anak
didik Graham yang paling terkenal, Warren Buffett, bisa menjadi sangat sukses
sebagai investor saham karena keahliannya yang luar biasa dalam menentukan
nilai intrinsik dari suatu saham. Simpelnya, ketika Buffett bisa dengan akurat
menentukan bahwa nilai intrinsik dari saham A, B, dan C, masing-masing adalah
100, 150, dan 200, sementara harga dari ketiga saham tersebut di market
masing-masing adalah 80, 70, dan 250, maka saham yang akan dipilih Buffett
adalah? Sudah tentu, saham B, karena diskonnya paling besar (harga saham B di
pasar cuma 70, padahal nilai intrinsiknya mencapai 150). Buffett tidak peduli
jika saham B ini harganya dari sisi PER atau PBV cukup mahal, asalkan
perusahaannya benar-benar bagus yang ditunjukkan dengan nilai intrinsiknya yang
tinggi. Bagi chairman Berkshire Hathaway ini, lebih baik berinvestasi pada
perusahaan yang luar biasa bagus (baca: nilai intrinsiknya sangat tinggi)
dengan harga saham yang masuk akal (gak harus murah), ketimbang berinvestasi
pada perusahaan yang biasa-biasa saja, meski harga sahamnya murah. Karena
logikanya, barang yang bagus tentunya tidak mungkin bisa didapat pada harga
yang terlalu murah, bukan begitu?
Okay, lalu bagaimana cara Buffett dalam menghitung nilai intrinsik suatu
saham? Sebelum ke bagian tersebut, mari kita sepakati dulu, apa yang dimaksud
dengan ‘nilai intrinsik’ disini. Berdasarkan berbagai definisi yang penulis
kumpulkan dari berbagai sumber, nilai intrinsik adalah nilai yang sesungguhnya
dari suatu saham, dan itu berbeda dengan nilai pasar (harga saham) atau nilai
buku (book value, atau ekuitas). Nilai intrinsik ini sudah termasuk
memperhitungkan aset yang terlihat (ekuitas tadi) dan yang tidak terlihat (prospek, nama besar perusahaan, kekuatan merek
produk, dll). Karena aset yang tidak terlihat ini seringkali sulit untuk
dikalkulasi (karena di laporan keuangan juga nggak ada angka Rupiah/Dollar-nya),
maka dua orang investor kemungkinan akan menjawab berbeda jika ditanya berapa
nilai intrinsik dari satu saham yang sama, tergantung dari sisi mana mereka
menghitung nilai intrinsik tersebut. Yup, nilai intrinsik adalah suatu ukuran
yang sangat subjektif, dan karenanya tidak pernah ada nilai intrinsik yang
benar-benar tepat untuk sebuah saham.
However, jika melihat track record dari Warren Buffett yang sangat sangat
sukses di pasar saham dengan berbekal kemampuan spesialnya dalam mengitung
nilai intrinsik, maka jika ada rumus cara menghitung nilai intrinsik, rumus
Buffett-lah yang bisa kita pakai. Dan berikut berikut ini adalah
langkah-langkah menghitung nilai intrinsik ala Warren Buffett, dan trust me,
cara mengitungnya jauh lebih sederhana dari yang anda kira :)
Pertama-tama, sebelum menghitung nilai intrinsik sebuah saham, kita harus
memilih dulu sahamnya. Pastikan bahwa anda memilih saham yang perusahaannya secara
historis memiliki kinerja yang bagus, stabil,
dan senantiasa bertumbuh dalam jangka panjang, katakanlah selama 10 atau
minimal 5 tahun kebelakang. Indikator yang paling mudah bisa dilihat dari
ekuitas dan laba bersihnya, apakah besar, dan naik terus atau tidak. Dan contoh
paling gampang dari perusahaan yang kinerjanya bagus dan stabil dalam jangka
panjang, siapa lagi kalau bukan Unilever Indonesia (UNVR), Charoen Pokphand
(CPIN), atau Semen Indonesia (SMGR).
Kinerja perusahaan yang stabil dalam jangka panjang ini sangat penting
untuk diperhatikan, karena salah satu elemen dari menghitung nilai intrinsik
ala Warren Buffett adalah dengan memperkirakan berapa kira-kira pertumbuhan
ekuitas dan laba bersih perusahaan kedepannya, dimana perusahaan dengan track
record kinerja yang bagus tentunya akan lebih berpeluang untuk mencatat kinerja
yang sama bagusnya di masa yang akan datang. Meski tentunya tidak ada jaminan
bahwa perusahaan dengan kinerja yang stabil akan tetap mencatat kinerja yang
stabil kedepannya, sama halnya dengan perusahaan yang baru berdiri atau punya
kinerja amburadul di masa lalu bisa saja menjadi perusahaan yang bagus suatu
hari nanti, namun tetap saja: Sebuah perusahaan dengan track record kinerja
yang bagus tentunya bisa lebih dipercaya ketimbang perusahaan yang sebelumnya
rugi melulu. Analoginya jika sebuah perusahaan membutuhkan seorang karyawan
untuk posisi manager atau direktur, maka mungkinkah perusahaan tersebut
merekrut karyawan fresh graduate yang belum berpengalaman, atau karyawan
berpengalaman namun punya catatan buruk, katakanlah pernah tersangkut masalah
hukum? Anda tahu jawabannya.
Selain punya kinerja yang stabil di masa lalu, anda juga harus mengerti benar tentang perusahaan serta
jenis usaha/bisnisnya, sehingga dalam hal ini anda harus mempelajari
tentang perusahaannya dulu sebelum kemudian baru masuk ke langkah berikutnya.
Analoginya balik lagi ke perusahaan yang merekrut pegawai tadi: Apakah sebuah
perusahaan akan langsung mempekerjakan seorang karyawan hanya karena CV-nya
(baca: track record pengalamannya) bagus? Jelas tidak. Minimal ia harus melalui
proses wawancara dengan pemilik perusahaan, atau pegawai yang posisinya lebih
tinggi, atau HRD, dan jika cocok barulah ia akan diterima bekerja.
Selanjutnya, menurut Buffett, yang disebut dengan nilai intrinsik adalah
jumlah uang cash yang bisa ditarik dari perusahaan selama perusahaan tersebut
masih beroperasi. Dan yang disebut dengan ‘uang cash’ tersebut adalah angka ekuitas terakhir perusahaan (atau
disebut juga nilai buku/book value), plus akumulasi
dari laba bersih yang akan perusahaan peroleh/kumpulkan kedepannya, yaitu
selama perusahaan tersebut terus beroperasi.
Contohnya kalau kita pakai CPIN, berikut adalah data laporan keuangan
perusahaan untuk tahun penuh 2012 (kita pakai laporan keuangan untuk tahun
penuh, bukan yang kuartalan).
- Jumlah saham CPIN adalah 16.4 milyar lembar
- Nilai ekuitas CPIN adalah Rp8.2 trilyun, sehingga setiap lembar saham CPIN mewakili ekuitas sebesar Rp499.
- Laba bersih per saham (EPS) CPIN untuk tahun 2012 tercatat Rp164.
Nah, jika kita asumsikan bahwa CPIN masih akan beroperasi hingga 10 tahun
mendatang, dan bahwa selama 10 tersebut perusahaan berhasil mencetak EPS Rp164
per tahunnya, maka akumulasi dari EPS tersebut selama sepuluh tahun adalah Rp1,640. Ditambah ekuitas sebesar Rp499
tadi, maka kita memperoleh angka Rp2,139.
Angka Rp2,139 per saham inilah, yang kemudian menjadi nilai intrinsik awal bagi
saham CPIN.
Namun, perhitungannya belum selesai. Diatas disebutkan bahwa ‘nilai
intrinsik’ sebesar Rp2,139 tersebut adalah dengan mengasumsikan bahwa CPIN
masih akan beroperasi hingga 10 tahun mendatang, dan bahwa selama 10 tersebut
perusahaan berhasil mencetak EPS Rp164 per tahunnya. Jadi pertanyaannya
sekarang ada dua: Pertama, apakah anda cukup yakin bahwa CPIN bisa beroperasi selama
lebih dari 10 tahun, katakanlah 20 tahun? Untuk pertanyaan ini misalnya kita jawab saja: Ya.
Kemudian pertanyaan kedua, apakah selama 20 tahun tersebut EPS CPIN akan
tetap Rp164 per
tahunnya? Tentu tidak, melainkan kemungkinan bakal naik terus setiap
tahunnya,
karena dalam lima tahun terakhir,
rata-rata kenaikan laba bersih CPIN mencapai lebih dari 50% per tahun.
Okay,
kita ambil angka konservatif saja, yaitu bahwa setiap tahunnya laba
bersih CPIN
hanya akan naik 20%. Itu berarti EPS CPIN pada tahun 2013 akan menjadi
Rp197,
pada tahun 2014 menjadi Rp236, dan demikian seterusnya hingga di tahun
2032 (selama 20 tahun) CPIN akan mencetak EPS Rp6,287. Maka, jumlah
akumulasi EPS selama 20 tahun tersebut, yaitu antara tahun 2013 - 2032,
akan mencapai Rp36,740.
Sekedar catatan, EPS untuk tahun 2012 yang sebesar Rp164 nggak ikut dihitung, karena EPS tersebut sudah termasuk dalam ekuitas perusahaan di tahun yang sama (dalam bentuk saldo laba). Sekali lagi, ingat bahwa dalam menghitung nilai intrinsik, yang dihitung adalah akumulasi dari laba bersih yang akan perusahaan kumpulkan kedepannya, jadi nggak termasuk laba bersih yang sudah diperoleh di tahun 2012.
Sekedar catatan, EPS untuk tahun 2012 yang sebesar Rp164 nggak ikut dihitung, karena EPS tersebut sudah termasuk dalam ekuitas perusahaan di tahun yang sama (dalam bentuk saldo laba). Sekali lagi, ingat bahwa dalam menghitung nilai intrinsik, yang dihitung adalah akumulasi dari laba bersih yang akan perusahaan kumpulkan kedepannya, jadi nggak termasuk laba bersih yang sudah diperoleh di tahun 2012.
Sekarang, ingat bahwa uang sebesar Rp1,000 pada sepuluh tahun yang lalu, nilainya
berbeda dengan Rp1,000 pada saat ini (jaman penulis kuliah dulu, seribu perak
masih bisa dapet sebungkus nasi putih di warteg, tapi sekarang buat bayar
parkir aja masih kurang). Dan pada sepuluh tahun kedepan, sangat mungkin bahwa
uang Rp1,000 tersebut akan semakin tidak bernilai lagi. Itu artinya, ketika
kita mengatakan bahwa akumulasi laba bersih CPIN adalah 36,740 pada tahun 2032,
dan mengingat bahwa nilai dari duit sebesar 35 ribu perak di tahun segitu
tentunya akan berbeda dengan 35 ribu perak pada saat ini, maka angkanya
kemudian harus disesuaikan. Caranya? Dengan membaginya dengan angka bunga per
tahun yang ditawarkan oleh instrumen investasi yang paling aman, dalam hal ini
(menurut Buffett) bunga dari obligasi yang diterbitkan Pemerintah.
Kalau di Indonesia sendiri, ada beberapa jenis obligasi Pemerintah seperti
itu, seperti SUN, ORI, hingga sukuk. Katakanlah kita ambil suku bunga sukuk,
yang angkanya 6.25% per tahun. Maka,
uang sebesar Rp36,740 di tahun 2032 adalah setara dengan Rp34,579 di tahun
2031, dan setara dengan Rp32,544 di tahun 2030, dan demikian seterusnya hingga
menjadi.. Rp10,928, di tahun 2012. Ditambah dengan posisi ekuitas terakhir
perusahaan, yaitu Rp499, maka totalnya menjadi Rp11,427. Maka bisa disimpulkan bahwa nilai intrinsik saham CPIN
pada saat ini adalah kurang lebih 11,427, masih jauh lebih tinggi ketimbang
harga sahamnya, yang cuma 4,950.
Kesimpulannya, saham CPIN masih murah! Karena margin of safety-nya mencapai 130%
(11,427 berbanding 4,950). Buffett sendiri menganggap bahwa MOS yang cukup safe alias aman untuk sebuah saham
adalah minimal 25%.
However, angka 11,427 tadi bisa keluar sebagai nilai intrinsik untuk CPIN, kalau
kita mengasumsikan bahwa CPIN ini cukup tangguh untuk secara stabil terus beroperasi hingga setidaknya 20
tahun kedepan. Sementara jika asumsi kita tidak seoptimis itu, yaitu bahwa CPIN
hanya akan beroperasi hingga 10 tahun kedepan, maka nilai intrinsik CPIN,
setelah penulis hitung, cuma Rp3,285
per saham, yang dengan demikian bisa dikatakan bahwa harga saham CPIN pada saat
ini sudah overvalue. Buffett sendiri biasa menggunakan angka 10 tahun kedepan
untuk menghitung akumulasi laba bersih yang bisa dikumpulkan sebuah perusahaan.
Dengan demikian, berikut adalah beberapa hal yang bisa disimpulkan dari
ilustrasi perhitungan nilai intrinsik dan margin of safety diatas.
1. Nilai intrinsik biasanya lebih
tinggi dari nilai buku
Konsep dasar dari nilai intrinsik adalah, ketika misalnya sebuah perusahaan
memiliki modal bersih Rp500 milyar di neracanya (yang disebut juga nilai buku), maka itu bukan berarti
nilai intrinsik perusahaannya adalah sama persis Rp500 milyar juga, melainkan
seharusnya lebih dari itu. Kenapa? Karena dari modal tersebut perusahaan bisa
mencetak laba, katakanlah jika ROE-nya 20% maka labanya Rp100 milyar setahun. Laba
sebesar Rp100 milyar tersebut kemudian menjadi milik si pemegang saham, entah
dalam bentuk dividen ataupun peningkatan modal, sehingga jumlah ‘uang’ yang
dimiliki si pemegang saham, setelah setahun, akan menjadi Rp600 milyar (modal
awal Rp500 plus laba bersih 100 milyar), dan demikian di tahun-tahun berikutnya
akan meningkat terus seiring dengan meningkatnya jumlah laba perusahaan. Jadi
ketika ada investor yang membeli sebuah perusahaan
bagus dengan nilai ekuitas sebesar Rp500 milyar, pada harga Rp500 milyar
juga (atau jika jumlah sahamnya 1 milyar lembar, maka itu berarti Rp500 per
saham), atau dengan kata lain pada PBV 1 kali, maka dia boleh dibilang
baru dapet rejeki nomplok. Rata-rata PBV dari saham-saham di BEI sendiri, dalam
kondisi market normal alias tidak bullish ataupun bearish, adalah 2.0 – 2.2
kali. Untuk contoh CPIN diatas, PBV-nya pada harga saham 4,950 adalah 9.1 kali.
Meski demikian, harap diingat untuk menggaris bawahi kata ‘perusahaan
bagus’ tadi. Karena beberapa perusahaan yang PBV-nya rendah, katakanlah kurang
dari 2 kali, itu bisa saja bukan karena sahamnya murah, melainkan karena
perusahaannya emang nggak bagus, katakanlah laba bersihnya minus alias rugi,
yang itu berarti modal perusahaan kedepannya bukannya naik tapi malah turun
karena tergerus kerugian. Atau, perusahaan masih mampu mencetak laba, namun persentase
kenaikan labanya masih kalah dibanding laju inflasi (baca: penurunan nilai uang).
Dan kalau yang penulis perhatikan sendiri, dalam kondisi market yang normal, di BEI memang ada beberapa saham yang PBV-nya persis atau kurang dari 1 kali, tapi biasanya mereka tidak memenuhi kriteria saham yang bisa dihitung nilai intrinsiknya, yaitu kinerja perusahaan yang konsisten dalam jangka panjang, dan utang yang manageable (akan dijelaskan dibawah). Sementara saham yang memenuhi kriteria tersebut, seperti UNVR, CPIN, dan SMGR diatas, penulis kira sampai kapanpun kita nggak akan bisa beli sahamnya pada harga yang mencerminkan PBV 1 kali.
Dan kalau yang penulis perhatikan sendiri, dalam kondisi market yang normal, di BEI memang ada beberapa saham yang PBV-nya persis atau kurang dari 1 kali, tapi biasanya mereka tidak memenuhi kriteria saham yang bisa dihitung nilai intrinsiknya, yaitu kinerja perusahaan yang konsisten dalam jangka panjang, dan utang yang manageable (akan dijelaskan dibawah). Sementara saham yang memenuhi kriteria tersebut, seperti UNVR, CPIN, dan SMGR diatas, penulis kira sampai kapanpun kita nggak akan bisa beli sahamnya pada harga yang mencerminkan PBV 1 kali.
2. Perhatikan Utang Perusahaan
Seperti yang dikatakan Buffett, nilai intrinsik adalah modal awal plus
akumulasi laba yang dikumpulkan perusahaan di masa depan (yang kemudian
didiskon dengan persentase laju inflasi/suku bunga obligasi pemerintah,
untuk
memperoleh nilainya pada saat ini). Tapi bagaimana jika perusahaan
memiliki
utang? Ya itu berarti, perusahaan menanggung beban bunga yang akan
mengurangi potensi laba. Meski demikian, mengingat bahwa ketika sebuah
perusahaan mengambil utang, tujuannya adalah untuk menambah modal kerja
yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan dan laba, maka jika utang
(atau tambahan modal kerja) ini bisa dikelola/dimanfaatkan dengan baik, maka jumlah peningkatan laba yang dihasilkan akan lebih besar dari beban bunga yang harus dibayar.
Karena itulah ketika kita mencari saham yang akan dihitung nilai
intrinsiknya, salah satu kriteria yang juga tidak boleh dilewatkan
adalah bahwa
perusahaan yang bersangkutan harus memiliki jumlah utang yang tidak
hanya tidak
terlalu banyak, tetapi juga dikelola dengan baik, sehingga kemudian kita
boleh
mengasumsikan bahwa utang tersebut tidak akan mengganggu jumlah laba.
Yang dimaksud dengan 'dikelola dengan baik' itu adalah jumlah utangnya
wajar (sebaiknya jangan terlalu tinggi dibandingkan ekuitasnya, maksimal
DER 2 kali), jumlah bunganya wajar (9 - 16% per tahun, lebih kecil
lebih baik), dan perusahaan memiliki cukup aset untuk membayarnya hingga
lunas.
Dan terkait hal ini maka kita tidak bisa memilih saham-saham yang jumlah utangnya tidak terkendali, yang dari waktu ke waktu tidak pernah dilunasi melainkan gali lobang tutup lobang. Misalnya saham-saham Grup Bakrie.
Dan terkait hal ini maka kita tidak bisa memilih saham-saham yang jumlah utangnya tidak terkendali, yang dari waktu ke waktu tidak pernah dilunasi melainkan gali lobang tutup lobang. Misalnya saham-saham Grup Bakrie.
3. Perhatikan seberapa lama
perusahaan beroperasi
Dalam contoh perhitungan nilai intrinsik diatas, tampak jelas bahwa dua
asumsi yang berbeda, yaitu asumsi pertama bahwa perusahaan akan beroperasi
selama 20 tahun, dan asumsi kedua bahwa perusahaan hanya akan beroperasi selama
10 tahun, ternyata menghasilkan nilai intrinsik yang juga jauh berbeda, yakni
11,427 dan 3,285. Jika pada saat ini CPIN berada di posisi 5,000-an, dan stabil
di posisi tersebut (yang itu berarti boleh dikatakan bahwa para pelaku pasar ‘sepakat’
bahwa nilai intrinsik/harga wajar dari
CPIN adalah 5,000-an), maka apa itu artinya? Artinya, mayoritas pelaku pasar cukup optimis bahwa CPIN masih bisa
membuat pakan ayam dan nugget hingga 10 tahun kedepan, namun tidak cukup optimis bahwa CPIN bisa
melakukan itu hingga 20 tahun kedepan. Faktanya, CPIN sendiri berdiri dan
beroperasi di Indonesia sudah cukup lama, yaitu sejak tahun 1972, dan penulis
tidak tahu bagaimana track record kinerjanya sejak tahun 1972 tersebut, tapi
yang jelas sejak tahun 2005 CPIN ini untung terus. Dan kalau dibandingkan
dengan perusahaan-perusahaan lainnya di Indonesia, yang rata-rata memiliki
kinerja jangka panjang yang tidak stabil, maka track record cemerlang sejak
tahun 2005 tersebut tentunya sudah relatif cukup untuk mengatakan bahwa ‘Saya
optimis bahwa CPIN akan bisa terus beroperasi hingga lebih dari 10 tahun
mendatang, tapi mungkin nggak sampai 20 tahun juga.’
Contoh lainnya, jika kita pakai UNVR, penulis belum menghitung nilai
intrinsik UNVR ini menggunakan rumus diatas, namun dilihat dari PBV-nya yang
mencapai 40-an kali, maka UNVR ini jelas sangat-sangat mahal ketimbang CPIN,
yang PBV-nya cuma 9.1 kali. Namun tahukah anda kenapa UNVR dihargai jauh lebih mahal?
Yap, benar sekali, itu karena perusahaan memiliki rekam jejak yang jauuh lebih
lama ketimbang CPIN, yaitu sejak tahun 1933, dan rasio profitabilitasnya juga
lebih besar. Artinya, jika untuk CPIN orang masih agak ragu ketika dikatakan bahwa
perusahaannya akan bertahan hingga 20 tahun kedepan, maka untuk UNVR, jangankan
20 tahun, hingga 40 tahun kedepan juga orang masih akan percaya bahwa
perusahaan ini masih akan tetap beroperasi dengan baik.
Karena itulah, seperti yang sudah disebut diatas, track record kinerja
perusahaan dalam jangka panjang di masa lalu sangatlah penting dalam mengukur
nilai intrinsik ini. Buffett sendiri lebih suka berinvestasi pada
perusahaan-perusahaan yang sudah berdiri dan beroperasi sejak lama, ketimbang
perusahaan ‘kemarin sore’, dan itu sebabnya ia juga tidak suka saham-saham IPO.
Forbes pernah mengeluarkan daftar ‘100 Perusahaan dari Seluruh Dunia yang akan
bertahan hingga 100 Tahun Mendatang’, dan sebagian besar penghuni daftar
tersebut merupakan perusahaan-perusahaan yang sudah beroperasi sejak sangaaat
lama, seperti Coca Cola, Prudential, Unilever NV, Walt Disney, hingga L’Oreal.
4. Sebaiknya hindari saham komoditas
Dalam menghitung nilai intrinsik, stabilitas kinerja perusahaan sangatlah
penting. Itu sebabnya Buffett, meski tidak selalu, berusaha menghindari saham-saham
yang laba perusahaannya bergantung pada fluktuasi harga komoditas yang mereka
produksi/jual. Contohnya, perusahaan-perusahaan batubara bisa mencetak laba
bersih yang besar di satu tahun tertentu ketika harga batubara naik, tapi di
tahun berikutnya bisa turun ketika harga batubara turun. Hal ini sebenarnya
bisa diatasi dengan menganalisis pergerakan harga komoditas tersebut, apakah
kedepannya akan naik atau turun, tapi bahkan Buffett-pun tidak bisa
melakukannya. Alhasil, ia lebih suka mengambil saham-saham yang harga produknya
senantiasa naik terus dari waktu ke waktu
seiring inflasi, tanpa fluktuasi yang berarti. Contohnya? Coca Cola. Coba
anda cek di supermarket, harga sekaleng Coca Cola, Sprite, dan Fanta memang
naik terus bukan?
However, dalam hal ini penulis punya pandangan yang sedikit berbeda.
Yang
disebut dengan komoditas, seperti emas, minyak, aneka jenis logam,
batubara, hingga crude palm oil (CPO), harganya memang berfluktuasi
setiap tahun, seperti batubara dan CPO yang
pernah mahal di tahun 2010 dan 2011, sekarang menjadi murah meriah, dan
pada
akhirnya menyebabkan kinerja buruk bagi perusahaan yang memproduksi dua
jenis
komoditas ini. Namun dalam jangka yang benar-benar panjang, harga dari
berbagai
jenis komoditas ini akan senantiasa naik karena inflasi dan meningkatnya
permintaan seiring bertambahnya jumlah penduduk dunia. Artinya? Jika
sewaktu-waktu ada saham yang jatuh karena turunnya harga komoditasnya,
contohnya seperti saham-saham batubara dan CPO yang sudah disebut
diatas, maka itu
justru merupakan buying opportunity, karena nanti kedepannya harga dua komoditas itu akan naik lagi.
Dan itu sebabnya, Lo Kheng Hong melalui Kontan.co.id mengatakan bahwa ia pada saat ini
justru sedang tertarik untuk membeli saham-saham batubara, dan juga saham perkebunan
kelapa sawit, ketimbang saham lainnya.
5. Ambil nilai intrinsik yang
terendah, dan belilah saham pada harga maksimal 25% dibawahnya. Lebih dari itu,
berarti sahamnya mahal.
Seperti sudah disebut diatas, Buffett hanya memilih saham yang punya track
record kinerja puluhan, bahkan ratusan tahun (salah satu saham Buffett, yaitu Coca
Cola tadi, pertama kali beroperasi pada tahun 1888, persis 100 tahun ketika
Buffett mulai mengkoleksinya tahun 1988). Meski demikian, dalam menghitung
nilai intrinsik, Buffett hanya melihat akumulasi laba perusahaan dalam 10 tahun kedepan saja, tidak lebih. Dan
entah ada hubungannya atau tidak, namun dalam kaitannya menghitung harga wajar
saham menggunakan PER, maka sebuah saham bagus bisa disebut murah kalau PER-nya
10 kali (yang itu berarti, harga sahamnya sama dengan jumlah laba dikali
sepuluh tahun), atau kurang dari itu. However, ketika Buffett pertama kali
melirik Coca Cola, PER-nya ketika itu mencapai lebih dari 20 kali, yang itu
berarti kemungkinan Buffett menyadari bahwa perusahaan ini punya potensi untuk
bertahan jauh lebih lama dari sekedar 10 tahun. Dan faktanya hingga hari ini,
atau 25 tahun sejak Buffett pertama kali membelinya, Coca Cola masih nongkrong
di portofolio Berkshire Hathaway.
Nah, sekarang bagaimana jika saya menemukan saham bagus dengan nilai
intrinsik (setelah saya hitung) 1,000, tapi harganya di market 1,500. Apa yang
harus saya lakukan? Menurut Buffett, ‘harga saham di pasar seringkali berbeda
dengan harga/nilai intrinsiknya, dan seringkali pula hal itu terjadi dalam
waktu yang cukup lama. Namun pada akhirnya, harga suatu saham akan bertemu (menjadi
sama) dengan nilai intrinsiknya tersebut.’ Artinya, jika anda menemukan bahwa
nilai intrinsik saham A adalah 1,000, sementara harganya di market 1,250, maka
dengan catatan anda telah menghitung nilai intrinsik tersebut dengan baik, itu
berarti hanya ada satu kemungkinan: Market, atau saham itu sendiri, sedang bubble. Dan jika itu terjadi, maka opsi
yang terbaik adalah menunggu terjadinya ‘mekanisme alam’, dimana cepat atau
lambat bursa saham (IHSG) akan terkoreksi, dan harga-harga saham akan turun
hingga mencapai harga wajar/nilai intrinsiknya masing-masing. Dan ketika koreksi
tersebut sudah cukup dalam, dimana saham A tadi sudah turun ke katakanlah 750,
maka itulah saatnya untuk belanja.
Disisi lain, jika anda menemukan saham B dengan nilai intrinsik 2,000,
sementara harganya di market cuma 1,000, maka meski IHSG sedang
tinggi-tingginya sekalipun, langsung saja beli saham B tersebut. Buffett,
seperti juga value investor lainnya (kalau di Indonesia, Lo Kheng Hong), tidak
begitu memperhatikan posisi indeks ketika mengincar suatu saham. Yang mereka
perhatikan hanyalah nilai intrinsik dari saham yang mereka incar saja, apakah
masih mahal atau sudah cukup murah.
Satu hal lagi, seiring dengan pertumbuhan perusahaan, maka nilai
intrinsiknya juga akan terus naik, dan demikian pula halnya dengan harga
sahamnya. So, jika anda sewaktu-waktu sudah membeli saham pada harga yang lebih
rendah dari nilai intrinsiknya, yaitu ketika terjadi momentum koreksi pasar, maka
selanjutnya tinggal duduk saja untuk menonton perusahaan anda bertumbuh, dan
juga harga sahamnya.
6. Perhatikan ekonomi makro
Dari contoh perhitungan nilai intrinsik diatas, disebutkan bahwa ketika
kita hendak mendiskon nilai saham di masa yang akan datang agar diperoleh
nilainya pada saat ini, maka kita bisa menggunakan tingkat suku bunga sukuk sebagai
patokan, yang sebesar 6.25% tadi. However, bunga sukuk tidak selalu 6.25% per
tahun, melainkan berubah-ubah setiap saat tergantung inflasi, dimana jika inflasi meningkat, maka bunga sukuk juga akan
meningkat. Dan jika bunga sukuk meningkat, maka harga saham akan semakin
terdiskon, alias semakin rendah, atau dengan kata lain: Nilai intrinsik suatu saham akan semakin rendah ketika inflasi meninggi.
Dalam kondisi perekonomian negara yang normal, tingkat inflasi memang
berubah setiap saat, namun pada akhirnya akan menemui titik keseimbangan di
level tertentu. Contohnya untuk Indonesia, rata-rata inflasinya sejak selesainya
krismon 1998 adalah 7% per tahun
(atau tepatnya 6%, jika mengabaikan perubahan kenaikan inflasi yang signifikan
di tahun 2008), dengan inflasi pada saat ini 5.5% (atau 5.9%, barusan udah
berubah lagi). Tapi tahukah anda, berapa tingkat inflasi kita di tahun 1998 dan
2008? Percaya atau tidak, inflasi kita di tahun 1998 pernah mencapai 82.4%, dan 12.1% di tahun 2008. Dan menurut anda, bagaimana nasib saham-saham
di BEI ketika itu?
However, bagi investor jangka panjang, yang patut diwaspadai disini adalah
jika terjadi perubahan signifikan
dalam perekonomian makro, dimana inflasi, dan juga indikator perekonomian
lainnya, berubah jauh lebih besar dari biasanya, seperti yang terjadi pada 1998
dan 2008 lalu. Sementara perubahan kecil-kecil yang terjadi hampir setiap saat,
misalnya seperti inflasi yang bisa dipastikan akan naik karena kenaikan harga
BBM, itu tidak begitu penting. Sama halnya seperti harga saham yang naik turun
setiap saat, itu juga tidak penting selama laba perusahaan serta nilai
intrinsik sahamnya terus bertumbuh. Tapi jika anda lebih condong sebagai
trader, maka hal ini jelas penting.
Kesimpulan
Okay, sebenarnya selain 6 poin diatas, di kepala penulis masih ada banyak
lagi pembahasan soal ‘menghitung nilai intrinsik’ ini, sehingga artikel ini
sejatinya belum selesai, karena ternyata hal ini memang merupakan inti utama dari
berinvestasi di saham secara keseluruhan. Namun berhubung artikelnya sudah
cukup panjang, maka untuk sekarang ini kita simpulkan saja dulu artikel diatas.
Kesimpulannya, jika kita berniat untuk berinvestasi jangka panjang, maka jangan
kompromi dengan saham ‘abal-abal’, melainkan pastikan bahwa saham yang anda
pilih benar-benar bagus. Dan kriteria dari saham bagus tersebut minimal ada tiga:
- Punya track record kinerja yang bagus, dan senantiasa bertumbuh secara stabil dalam jangka panjang, minimal 5 tahun ke belakang, namun lebih lama lebih baik.
- Perusahaan memiliki utang dalam jumlah yang wajar, atau sebaiknya tidak punya utang sama sekali.
- Sebaiknya pilih saham yang kinerja perusahaannya tidak tergantung pada fluktuasi harga komoditas, tapi juga jangan menutup diri jika ada saham komoditas yang memang menarik.
Selanjutnya terkait timing untuk
masuk/membeli sahamnya, adalah ketika harga suatu saham turun hingga lebih
rendah minimal 25% dibanding nilai intrinsiknya (selisih 25% ini kemudian
disebut margin of safety), dan itu biasanya baru terjadi ketika market atau
IHSG dilanda koreksi, entah besar atau kecil. Karena dalam kondisi normal,
harga saham biasanya mengikuti/sama dengan nilai intrinsiknya masing-masing,
atau bahkan lebih tinggi jika market sedang bullish.
Di sisi lain, jangan lupa untuk memperhatikan perubahan signifikan dalam perekonomian
makro, seperti inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Karena jika kejadiannya seperti
tahun 1998, atau 2008, maka tak peduli sebagus apapun fundamental sebuah saham,
semurah apapun harganya, maka tetap saja dia akan turun, hingga ke posisi yang
tidak pernah anda bayangkan sebelumnya.
Sumber: TeguhHidayat.Com, gambar dari hasil pencarian Google.
Posting Komentar
Posting Komentar