Pak Teguh Hidayat menulis:
Beberapa waktu lalu ada seorang teman yang bertanya seperti ini kepada
penulis, ‘Pak Teguh, kenapa Warren Buffett nggak suka saham-saham teknologi ya?
Padahal kalau dia beli Apple, Google, Microsoft.. dalam jangka panjang untungnya
bisa gila-gilaan tuh.’ Dan penulis menjawab. ‘Buffett mengatakan bahwa ia tidak
mengerti teknologi. Tapi saya pikir alasan sebenarnya adalah karena ia
menyadari bahwa bisnis ini berisiko tinggi.
Contohnya, antara tahun 1995 –
1999, di Amerika berkembang banyak sekali perusahaan teknologi, termasuk
didalamnya perusahaan internet, hingga sempat terjadi dot com bubble. Tapi
setelah dot com bubble tersebut meletus, hampir semuanya bangkrut kecuali
Google dan Yahoo’.
Masalahnya adalah, iya kalau kita sejak awal beli saham Google atau Yahoo,
maka kita bakal untung besar. Tapi bagaimana kalau kita belinya saham
perusahaan internet yang lain? Ya duit kita habis lah! Sedangkan
mengidentifikasikan ‘mutiara terpendam’ diantara tumpukan sampah seperti itu, dalam
hal ini saham Google dan Yahoo, itu sama sekali bukanlah pekerjaan yang mudah.
Tapi intinya, terlepas dari apapun jenis bisnis yang dijalani perusahaan,
Buffett lebih memilih saham atau perusahaan yang sudah berdiri dan beroperasi sejak
sangat lama, dalam hal ini minimal puluhan tahun, dan juga sudah melewati
berbagai macam periode ekonomi termasuk periode krisis, dan mampu bertahan.
Ketika Buffett membeli saham perusahaan komputer, IBM, itu bukan karena ia mendadak
ngerti soal teknologi, melainkan karena perusahaan ini sudah sangat mapan sejak
ia beroperasi pada tahun 1880 (lebih dari 130 tahun yang lalu), dan selama itu perusahan
hampir selalu beroperasi dengan baik. Buffett tidak membeli saham Facebook,
meski FB ini adalah juga perusahaan teknologi, karena FB adalah perusahaan ‘kemarin
sore’ yang baru berdiri pada tahun 2004.
Dan hal ini, kalau kita terjemahkan, bermakna bahwa Buffett lebih suka saham-saham blue chip ketimbang saham-saham kecil
atau second liner. Diantara sesama perusahaan teknologi terbesar di dunia seperti
Lenovo, Hewlett-Packard, Dell, Oracle, hingga Microsoft, IBM adalah memang yang
tertua sekaligus yang paling mapan.
Nah, selama ini ada mitos bahwa perusahaan besar yang sudah mapan, itu tidak
menarik sebagai pilihan investasi untuk jangka panjang karena mereka tidak lagi
menawarkan pertumbuhan yang signifikan. Contohnya IBM. Dengan posisi aset
senilai US$ 126 milyar pada akhir tahun 2013 (setara Rp1,300 trilyun), maka
perusahaan ini mau tumbuh hingga sebesar apa lagi?
Sementara perusahaan yang masih baru, yang masih start up dan ukurannya
juga masih kecil, maka praktis ruang untuk bertumbuhnya masih sangat terbuka.
Ada banyak contoh dimana perusahaan kecil mampu untuk tumbuh sekian kali lipat
dalam waktu yang relatif singkat sejak perusahaan resmi beroperasi, katakanlah
tidak sampai 10 tahun. Contohnya? Ya Facebook tadi. Ketika Mark Zuckerberg
mengajukan dokumen pendirian perusahaan dengan nama TheFacebook, Inc. pada tanggal 29
Juli 2004, nilai modal disetor perusahaan hanyalah US$ 55 ribu, atau sekitar Rp600
juta. Dan berapa nilai aset bersih Facebook sekarang? US$ 15.5 milyar, atau
setara Rp160 trilyun! Jadi anda bisa bayangkan berapa besar keuntungan yang
diperoleh para investor awal yang membantu mendirikan perusahaan (jauh sebelum
FB menggelar IPO pada tahun 2012, terdapat beberapa venture capitalist yang sudah lebih dulu menanamkan modal di
perusahaan).
Jadi jika dibandingkan dengan pertumbuhan yang dialami perusahaan blue chip
manapun dalam sepuluh tahun terakhir ini, maka jelas bahwa pertumbuhan yang
dicapai Facebook jauuuuh lebih mengesankan. Ada banyak miliarder baru di Amerika
sana karena mereka termasuk yang menyuntik modal di Facebook ketika perusahaannya
belum IPO.
Tapiii.. jangan lupa juga bahwa Facebook itu adalah contoh kecil, bahkan
mungkin satu-satunya, dari perusahaan kecil yang mampu tumbuh menjadi raksasa
dalam waktu singkat. Sementara perusahaan-perusahaan lainnya? Entah itu
perusahaan teknologi juga atau lainnya? Ya sebagian gagal untuk sekedar bertahan
untuk hidup ketika ‘dilahirkan’, sebagian mampu bertahan namun pada akhirnya
tetap mati, sebagian mampu bertahan hingga saat ini, dan sebagian lagi mampu
untuk benar-benar bertumbuh namun dengan rate
pertumbuhan yang biasa-biasa saja. Sementara yang sukses luar biasa seperti
Facebook, itu mungkin hanya satu dibanding seribu. Peter Thiel, investor pertama di Facebook yang membeli 10% saham
perusahaan pada tahun 2004, saat ini menjadi kaya raya karena investasinya
tersebut. However, Thiel tidak hanya berinvestasi di Facebook, melainkan banyak
lagi perusahaan-perusahaan start-up lainnya,
dimana perusahaan-perusahaan tersebut banyak juga yang kolaps.
Jadi intinya, cara investasi yang dilakukan Thiel mengandung risiko tinggi,
dimana ia bisa menderita kerugian yang signifikan karena mayoritas dari investasinya kemungkinan akan gagal. Meski demikian
kalau ia sukses satu kali saja pada salah satu saham/perusahaan yang ia beli
(dimana perusahaan tersebut adalah perusahaan ‘kemarin sore’), maka ia akan
langsung kaya raya.
Okay, Mas Teguh, lalu apa sebenarnya yang mau anda sampaikan?
Pada kesempatan seminar hari Sabtu tanggal kemarin, penulis berdiskusi
dengan salah seorang peserta yang ternyata merupakan investor senior, yang
sudah invest di saham sejak tahun 1999. Beliau mengatakan bahwa, berdasarkan
pengalamannya, para investor yang ‘nggak ngerti apa-apa’ malah justru sukses
meraup keuntungan signifikan dalam jangka panjang karena mereka biasanya hanya
invest pada saham-saham yang ‘itu-itu saja’, alias saham-saham blue chip, biasanya dengan metode Dollar Cost Averaging (DCA) (nanti kita akan bahas metode ini lebih
detail, karena memang terbukti ampuh). Contoh saham yang itu-itu saja tersebut
adalah Astra International (ASII), Unilever (UNVR), Indofood (INDF), dan seterusnya. Para investor yang ‘nggak tau apa-apa’ ini
hanya memilih saham-saham tersebut karena alasan yang simpel, seperti, ‘Siapa
sih yang gak tau Astra? Jadi saya merasa aman kalau invest disitu. Tapi kalau
perusahaan ini.. itu.. bla bla bla (perusahaan-perusahaan kecil, yang sahamnya
berstatus second liner, atau malah gorengan), apaan tuh? Nama perusahaannya aja
saya baru dengar!’
Sedangkan para investor 'pakar' yang pintar menganalisis dll, kebanyakan malah rugi! Karena mereka lebih suka masuk ke
saham-saham yang nggak jelas, yang katanya, berdasarkan analisis mendalam yang sudah mereka kerjakan sebelumnya, menawarkan pertumbuhan signifikan dalam
jangka panjang atau semacamnya. Tapi nyatanya banyak dari saham-saham kecil
ini yang pada satu waktu mungkin sukses mencatatkan kinerja yang luar biasa
sehingga sahamnya pun naik signifikan, tapi diwaktu yang lain kinerjanya
tiba-tiba saja anjlok sehingga sahamnya pun ikut anjlok.
Sementara pada perusahaan-perusahaan blue chip, yang kinerjanya stabil dan konsisten,
hampir tidak ada volatilitas seperti itu dimana sahamnya, meski dengan kenaikan
yang terkesan pelan-pelan, namun terus naik dari waktu dan waktu dan biasanya
hanya turun jika IHSG turun. Dan hal inilah yang pada akhirnya membuat investor
yang memegang ASII dll, meraup keuntungan yang jauh lebih besar setelah lima atau
sepuluh tahun, dibanding investor lain yang entah disadari atau tidak,
mempertaruhkan uang mereka pada perusahaan-perusahaan kecil yang belum jelas
bibit, bebet, dan bobotnya.
Sudah tentu, tidak semua investasi pada saham-saham second liner berakhir
dengan kegagalan. Pada tahun-tahun sebelum tahun 2010, Charoen Pokphand Indonesia (CPIN) adalah salah satu saham second
liner yang tidak banyak dikenal orang. Namun setelah tahun 2010, perusahaan ini
tumbuh dengan pesat dan juga mampu mempertahankan pertumbuhannya hingga saat
ini, hingga akhirnya perusahaannya menjadi besar dan sahamnya pun berubah
status menjadi saham blue chip. Jika dibandingkan dengan kenaikan jangka
panjang dari saham-saham blue chip lainnya yang sejak awal sudah merupakan
saham blue chip, seperti ASII dll, maka jelas bahwa kenaikan CPIN ini jauuuuuh
lebih signifikan. Investor yang membeli CPIN untuk pertama kalinya pada tahun
2009, pada hari ini akan lebih sukses dalam investasinya, dibanding investor
lain yang membeli ASII di tahun yang sama.
Nah, CPIN ini adalah seperti Google, Yahoo, atau Facebook tadi, yang sukses
bertahan hingga akhirnya menjadi perusahaan besar. Namun masalahnya sekali
lagi, iya kalau kita sejak awal belinya saham CPIN. Tapi bagaimana kalau kita
masuknya di saham second liner yang lain? Bagaimana kita bisa tahu bahwa dua
perusahaan yang sama-sama masih merupakan perusahaan baru dengan track record yang
praktis belum ada, maka salah satunya akan tumbuh signifikan sementara yang
satunya lagi bakal kolaps?
Terus terang, penulis sendiri juga termasuk yang (tadinya) percaya bahwa
invest di saham-saham second liner lebih menguntungkan dibanding invest
di
saham-saham blue chip. Dan itu bukan karena saham-saham second liner ini
lebih
menawarkan pertumbuhan atau apa, melainkan karena dari sisi valuasi,
harga
mereka lebih murah dibanding saham-saham blue chip, dimana PBV dan
PER-nya lebih rendah, sementara dividend yield-nya lebih tinggi (sebagai
value investor, itu saja yang saya
lihat). Sementara saham-saham big caps, yang perusahannya punya nama
besar, rata-rata
harganya premium dan jarang diantara mereka yang memiliki PBV dibawah 2
kali.
Dan di masa lalu, dalam hal ini tahun 2010 – 2012, strategi ‘fokus pada
saham-saham second liner’ ini cukup sukses dimana ada beberapa saham second
liner bagus yang sempat mampir di porto penulis, seperti MNCN, ASRI, GTBO,
MYOR, LSIP, KKGI, ERAA, MAIN, hingga CPIN tadi. Namun kesininya, saham-saham
second liner ini banyak yang melempem. Sementara blue chip? Mereka malah terus
naik dengan santainya. Daaan yang juga baru penulis sadari adalah, kalau anda
beli UNVR pada tahun 2010, misalnya, dan masih memegangnya hingga hari ini,
maka keuntungan yang anda peroleh adalah sama besarnya, atau bahkan masih lebih
besar, dibanding jika anda repot-repot keluar masuk di saham-saham second liner
yang disebutkan diatas. Maksud penulis adalah, kalau di tahun 2012 lalu anda
nggak cepat-cepat keluar dari KKGI, maka sekarang anda bakal nyangkut. Tapi kalau anda ‘tidur’ ketika memegang UNVR, maka sampai hari ini anda akan baik-baik saja bukan?
Karena itulah, mulai ketika artikel ini ditulis hingga seterusnya,
penulis
pribadi akan mulai menyisihkan sekitar separuh dari nilai portofolio,
atau
mungkin lebih, untuk dialokasikan pada saham-saham blue chip, meski
mungkin
masuknya bukan pada saat ini karena IHSG masih agak mahal. Kenapa cuma
separuh dan bukan semuanya? Karena saya juga tetap akan mencari peluang
pertumbuhan di saham-saham second liner yang punya potensi, selain
karena berinvestasi di blue chip juga bukan tanpa risiko (risiko
terbesar saham-saham blue chip adalah jika IHSG turun).
Dan keputusan ini adalah bukan semata karena baca-baca buku tentang Warren Buffett dll, melainkan karena pengalaman. Sudah tentu, anda mungkin memiliki strategi yang berbeda, dan itu sah-sah saja. Namun jika anda tertarik untuk menerapkan strategi yang sama, maka jangan lupa bahwa yang dimaksud dengan ‘saham blue chip’ itu bukanlah saham yang sekedar likuid atau masuk daftar LQ45.
Dan keputusan ini adalah bukan semata karena baca-baca buku tentang Warren Buffett dll, melainkan karena pengalaman. Sudah tentu, anda mungkin memiliki strategi yang berbeda, dan itu sah-sah saja. Namun jika anda tertarik untuk menerapkan strategi yang sama, maka jangan lupa bahwa yang dimaksud dengan ‘saham blue chip’ itu bukanlah saham yang sekedar likuid atau masuk daftar LQ45.
Kemudian soal valuasi saham-saham blue chip yang rata-rata lebih tinggi
dibanding saham-saham second liner, maka itu bukan berarti saham-saham blue
chip ini benar-benar mahal, melainkan seperti kata Buffett, ‘Saya lebih suka
berinvestasi pada perusahaan bagus yang dijual pada harga wajar, ketimbang
berinvestasi pada perusahaan biasa-biasa saja yang dijual pada harga murah’. And,
well, as an investor, penulis sendiri juga baru sekarang memahami kalimat tersebut
dengan sungguh-sungguh.
Sumber: TeguhHidayat.Com (dengan sedikit perubahan), gambar dari hasil pencarian Google.
Posting Komentar
Posting Komentar