Satu lagi perusahaan dengan nama besar ikut melantai di bursa saham tanah air. PT Blue Bird, Tbk., dan memang hanya itu saja nama perusahaannya, merupakan perusahaan penyedia layanan taksi terbesar di Indonesia, sekaligus merupakan yang paling populer, sehingga tak heran jika berita tentang IPO-nya direspon dengan antusias oleh pasar. However, seperti ‘barang terkenal’ lainnya, saham Blue Bird tidak dijual pada harga murah, melainkan akan dilepas pada rentang harga Rp7,200 – 9,300 per saham, padahal nilai nominalnya cuma Rp100. Jadi pertanyaannya sekarang, apakah harga tersebut terbilang worth? Okay, kita langsung saja. 

Ketika tadi diatas penulis mengatakan bahwa Blue Bird merupakan perusahaan taksi terbesar di Indonesia, maka maksud penulis adalah, benar-benar besar. Pada tahun 2013, Blue Bird memegang 33% pangsa pasar taksi di Indonesia, atau 2.3 kali lebih besar dibanding pangsa pasar PT Express Transindo Utama, Tbk (TAXI) sebagai perusahaan taksi terbesar kedua, dan jumlah armada taksi yang dimiliki perusahaan lebih banyak dibanding armada taksi milik lima perusahaan taksi terbesar lainnya secara keseluruhan (termasuk TAXI tadi). Dominasi Blue Bird di pasar taksi Indonesia terutama disebabkan karena industri taksi itu sendiri merupakan industri yang high barrier to entry, dimana sulit sekali bagi pemain baru untuk memperoleh izin dari Pemerintah Daerah untuk mengoperasikan armada taksi. Pihak Blue Bird sendiri menyebutkan bahwa risiko terbesarnya dalam menjalani usaha adalah kemungkinan dicabutnya izin operasional taksi oleh Pemerintah Kota/Kabupaten tertentu, sehingga perusahaan tidak bisa lagi beroperasi disitu. Beruntung, sebagai perusahaan yang paling mapan di bidang per-taksi-an, kondisi tersebut justru menyebabkan Blue Bird relatif aman dari kemungkinan mengetatnya persaingan karena adanya kompetitor baru.

Dan mungkin karena perusahaan sangat menguasai industri taksi, sementara bisnis taksi itu sendiri mengalami kemajuan yang cukup pesat selama empat tahun terakhir (pendapatan industri taksi pada tahun 2009, secara keseluruhan, tercatat Rp4.1 trilyun, dan angka tersebut meningkat menjadi Rp8.2 trilyun pada tahun 2013), maka kinerja keuangan Blue Bird sekilas tampak memuaskan. Pada tahun 2013, Blue Bird membukukan laba bersih Rp713 milyar, atau mencerminkan return on equity (ROE) yang mencapai 59%. Nilai ekuitas perusahaan juga terus naik secara konsisten, dari Rp207 milyar di tahun 2009, menjadi Rp1.5 trilyun per tanggal 30 April 2014.  

However, anda mungkin perlu menggaris bawahi kata ‘sekilas’ diatas. Blue Bird, seperti kebanyakan perusahaan jasa transportasi darat lainnya, memiliki utang yang sangat besar di neracanya. Dari total nilai aset perusahaan senilai Rp5.5 trilyun pada akhir April 2014, Rp4.0 trilyun diantaranya merupakan utang, termasuk utang bank senilai lebih dari Rp2.7 trilyun. Kondisi ini menyebabkan laba perusahaan sangat rentan terhadap fluktuasi tingkat suku bunga pinjaman. Laba Blue Bird juga rentan terhadap fluktuasi nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar, karena banyak dari armada taksinya yang harus beli dengan cara impor. Alhasil, seperti yang sudah bisa ditebak, meski ekuitasnya naik terus setiap tahunnya, namun perolehan laba bersih Blue Bird cenderung kurang konsisten dan kurang stabil. Pada tahun 2010, laba perusahaan melompat menjadi Rp405 milyar (dari sebelumnya Rp77 milyar), namun turun menjadi Rp389 milyar di tahun 2011, sebelum kemudian naik lagi menjadi Rp440 milyar di tahun 2012. Intinya sih, pada tahun 2013 kemarin laba Blue Bird memang melompat lagi dibanding 2012, namun tidak ada jaminan bahwa di tahun 2014 atau 2015 mendatang lompatan tersebut akan bisa dipertahankan. Jika nanti sewaktu-waktu laba Blue Bird turun, maka demikian pula dengan sahamnya.

Komponen lainnya diluar bunga pinjaman dan selisih kurs, yang bisa menggerus laba Blue Bird sewaktu-waktu, adalah jika perusahaan gagal dalam ‘memutar’ asetnya dengan baik. Sebagai perusahaan taksi, Blue Bird dituntut untuk secara rutin meremajakan armadanya setiap tahun, dimana taksi yang sudah usang dijual, lalu beli lagi mobil baru, sama seperti Adi Sarana Armada (ASSA). Sejauh ini, Blue Bird selalu memperoleh keuntungan dari penjualan taksi bekasnya, namun nilai keuntungan tersebut juga bisa sangat berfluktuatif, dimana jika nilainya turun maka demikian pula dengan laba bersih perusahaan secara keseluruhan.

Dan karena utangnya besar, maka pencapaian laba Blue Bird tidak sebesar kelihatannya, karena meski dari ROE-nya tercatat 59%, namun ROA-nya (return on asset) cuma 14%.

Kasus Hukum

Satu hal lagi yang membuat penulis kurang sreg dengan Blue Bird ini adalah, pada saat ini perusahaannya sedang tersangkut beberapa masalah hukum. Pada tanggal 17 Mei 2013, seseorang bernama Ibu Mintarsih Latief, yang masih merupakan saudara kandung dari direktur utama Blue Bird, Bapak Purnomo Mangkusudjono, menggugat saudaranya sendiri karena dituduh telah secara sepihak menguasai aset-aset milik PT Blue Bird Taxi (BBT), perusahaan afiliasi dari Blue Bird, dimana Ibu Mintarsih merupakan direktur dari BBT. Menurut penulis ini lebih ke masalah sengketa warisan, karena Ibu Mintarsih nggak cuma menggugat Pak Purnomo, tapi juga Chandra Suharto yang juga masih saudaranya. Namun karena Pak Chandra sudah almarhum, maka Ibu Mintarsih mengarahkan gugatan ke anak-anak almarhum Pak Chandra, alias keponakannya sendiri.

Masalah sengketa ini masih belum kelar sampai sekarang, bahkan kemungkinan bisa berkepanjangan. Pada tanggal 4 April 2014, pengacara kondang OC Kaligis, mengajukan gugatan atas nama dirinya sendiri terhadap Ibu Mintarsih, Pak Purnomo, dan petinggi-petinggi lainnya di dalam Blue Bird Grup, dengan nilai gugatan Rp2.2 trilyun! OC Kaligis, yang sebelumnya merupakan pengacara Ibu Mintarsih ketika si Ibu menggugat saudara-saudaranya, menyatakan bahwa dirinya telah kehilangan pendapatan karena Ibu Mintarsih secara sepihak memutus kerjasama dengannya sebagai penasehat hukum. Jadi urusannya sekarang bukan lagi Ibu Mintarsih vs saudara-saudaranya, melainkan orang luar (Om OC Kaligis) melawan Ibu Mintarsih, Pak Purnomo, dan anak-anak dari Pak Chandra. Menariknya, Pak Purnomo juga menggunakan jasa dari pengacara kondang lainnya, Hotman Paris, ketika beliau dulu bertarung melawan Ibu Mintarsih, jadi kemungkinan beliau masih pake pengacara yang sama untuk melawan Om OC. Kebayang apa jadinya jika dua orang pengacara ini ketemu di Indonesia Lawyers Club di TvOne?

Jika itu belum cukup, maka pada tanggal 2 Juni 2014, dua orang yang bernama Ibu Lani Wibowo dan Ibu Elliana Wibowo, yang masih merupakan saudara kandung dari Bapak Gunawan Surjo Wibowo yang merupakan komisaris Blue Bird, ikut-ikutan menggugat perusahaan dengan menuntut ganti rugi senilai Rp652 milyar. Well, kalau urusannya udah sama keluarga sendiri seperti ini sih, maka penulis kira masalahnya bisa berlanjut sampai tujuh turunan, alias gak akan selesai-selesai. Meski pihak perusahaan mengklaim bahwa hal ini tidak akan mengganggu operasional perusahaan, namun sebagai pemegang saham, saya tidak bisa tidak, pasti bakal khawatir. Gimana perusahaan bisa berjalan lancar kalau pengelolanya justru sibuk berantem melulu?

Menariknya, kalau anda cari di Google, nyaris tidak ada satupun pemberitaan yang membahas soal kasus hukum yang sedang membelit Blue Bird ini. Sepertinya pihak penjamin emisi IPO Blue Bird, yakni Credit Suisse Securities, Danareksa, dan UBS Securities sukses dalam hal membungkam media. Sebab jika pemberitaan soal kasus hukum ini mencuat, otomatis saham Blue Bird gak akan laku dijual. Hal ini juga mengingatkan penulis ketika dulu Garuda Indonesia (GIAA) menggelar IPO, dimana IPO-nya dipromosikan habis-habisan melalui media, padahal, terlepas dari nama besar Garuda Indonesia, kinerja perusahaannya gak ada bagus-bagusnya sama sekali.

Kesimpulannya, diluar nama besar perusahaannya dan prospek bisnis taksi itu sendiri yang mungkin cukup menarik, namun faktanya adalah bahwa investasi di Blue Bird ini terbilang berisiko, dan itu bahkan belum mempertimbangkan valuasi sahamnya, yang sekilas memang mahal.

Berikut adalah beberapa fakta penting lainnya terkait investasi di Blue Bird yang perlu anda ketahui:

  1. Pada tahun 2012, perusahaan melakukan restrukturisasi kepemilikan anak-anak usaha, sehingga ada beberapa anak usaha yang tidak lagi dikonsolidasikan sebagai anak usaha dari PT Blue Bird, dan komposisi pemegang saham dari PT Blue Bird itu sendiri juga menjadi berubah. Kemungkinan restrukturisasi ini pula yang kemudian menyebabkan sengketa antar sesama pemegang saham di Grup Blue Bird, seperti yang sudah dibahas diatas.
  2. Diluar mengoperasikan taksi, Blue Bird (setelah restrukturisasi) juga menjalankan bisnis taksi eksekutif (‘Silver Bird’), sewa mobil dan limosin (‘Golden Bird’), dan sewa bis (‘Big Bird’). Hinggal akhir April 2014, ketiga ‘bird’ tersebut menyumbang pendapatan sebesar Rp280 milyar, atau 19% dari pendapatan perusahaan secara keseluruhan, jadi tidak banyak yang bisa diceritakan dari tiga bird tersebut karena memang keberadaannya kurang signifikan. Di Jakarta anda akan cukup sering melihat taksi Silver Bird lalu lalang, tapi di kota-kota lain sepertinya nggak ada sama sekali. Sementara satu lagi ‘bird’ yang tidak dikonsolidasikan ke dalam Blue Bird yang akan IPO ini (tidak dianggap sebagai anak usaha), adalah ‘Iron Bird’, penyedia jasa logistik dan pengiriman barang.
  3. Danareksa, salah satu penjamin emisi Blue Bird, punya track record yang buruk ketika dulu meng-IPO-kan Krakatau Steel (KRAS), dan Garuda Indonesia (GIAA), dimana saham KRAS dijual pada harga yang terlalu murah (terlepas dari fakta bahwa sahamnya sekarang nyungsep lagi karena kinerja perusahaannya memang jelek), sementara GIAA dijual pada harga yang terlalu mahal, hingga dia harus nalangin sendiri saham yang tidak laku tersebut. Beruntung, ada Chairul Tanjung yang datang sebagai penyelamat, yang membeli saham GIAA dari Danareksa pada harga Rp680 per saham senilai Rp1.3 trilyun. Jika bukan karena kehadiran Om CT, sekuritas BUMN ini bisa benar-benar habis sama sekali.

Terus terang, setelah sampai pada bagian ini maka penulis sudah tidak lagi berminat untuk melanjutkan artikelnya, karena biar gimana saya pribadi tidak akan beli saham Blue Bird. Anyway, jika tadi diatas disebutkan bahwa saham Blue Bird ini mahal, maka anda mungkin bertanya, ngitungnya bagaimana? And here we go!

Saham Blue Bird, seperti disebutkan diatas, akan dilepas pada rentang harga Rp7,200 – 9,300 per saham. Karena jumlah saham yang dijual adalah 531.4 juta lembar (yang mencerminkan 20% dari jumlah seluruh saham), maka perusahaan akan meraup dana antara Rp3.8 – 4.9 trilyun... alias sangat besar! Sooo, let me get this straight: Untuk perusahaan dengan total ekuitas hanya senilai Rp1.5 trilyun, track record kinerja yang tidak konsisten, punya utang segunung (termasuk sebagian dari dana hasil IPO itu juga akan dipake buat bayar utang), dan manajemennya lagi sibuk berantem persis kaya di sidang paripurna DPR kemarin, maka penulis hendak mengatakan: Are you nuts??? Apalagi sekarang IHSG lagi down trend, sehingga penjamin emisi Blue Bird sepertinya hanya akan mengulangi kesalahan ketika dulu mereka meng-IPO-kan Garuda pada kondisi pasar yang lagi turun di akhir tahun (dan juga pada harga mahal), dimana investor sedang kehilangan appetite untuk belanja saham. Jadi jika saham Blue Bird tidak sampai bernasib seperti GIAA yang anjlok dulu, maka itu sudah bagus sekali. Okay, Blue Bird memang punya nama besar, namun itu saja jelas tidak cukup untuk menjual sahamnya pada harga selangit. Dan faktanya, Sido Muncul (SIDO) juga punya nama besar, dengan fundamental yang jauh lebih baik dari Blue Bird. Namun karena sejak awal harganya sudah sangat mahal, maka meski dia sempat naik lumayan, tapi toh kesininya turun lagi.

Lalu memangnya seberapa mahal Blue Bird ini? Well, mari kita hitung. Jika sahamnya dilepas pada harga terendah, yakni Rp7,200, maka nilai ekuitas Blue Bird akan menjadi Rp1.5 + 3.8 trilyun, alias Rp5.3 trilyun. Jumlah saham Blue Bird setelah IPO akan menjadi 2.7 milyar lembar, sehingga market cap Blue Bird (pada harga 7,200) adalah Rp19.1 trilyun. Maka PBV-nya =  19.1 trilyun / 5.3 trilyun, sama dengan 3.6 kali. Analis tertentu mungkin akan menganggap bahwa valuasi ini masih wajar, karena ROE perusahaan, seperti yang sudah disebut diatas, mencapai 59% alias sangat tinggi, belum lagi mempertimbangkan nama besar perusahaan. Namun yah, dengan pelbagai faktor yang sudah kita bahas disini, maka anda tahu bahwa anda tidak mungkin membayar sampai Rp36 juta untuk memperoleh bagian aset bersih Blue Bird senilai Rp10 juta saja, apalagi jika aset tersebut nggak bagus dan juga sedang bermasalah (cuma menang merk ‘cap burung biru’ doang).

Lalu apakah saham Blue Bird akan anjlok ketika dia listing perdana pada tanggal 3 November nanti? Well, belum tentu juga sih. Seperti ketika Grup Rajawali masuk ke BW Plantation, Blue Bird juga punya program MESOP (management and employee stock option program), dimana pegawai perusahaan memiliki opsi untuk membeli saham Blue Bird pada harga sekian, yang biasanya lebih tinggi dari harga IPO. Jadi agar para pegawai ini mau mengeksekusi opsi-nya, maka harga saham Blue Bird di pasar tentunya harus dijaga agar tidak turun.

Tapi yah, kalau anda beli Blue Bird berdasarkan analisis ‘gorengan’ seperti itu, maka itu lebih dekat ke spekulasi ketimbang investasi. Penulis suka berinvestasi pada saham-saham yang (kalau bisa) boleh saya tinggal tidur. However, kalau penulis ikut ambil Blue Bird ini, maka saya mungkin akan menjadi seperti para sopir taksinya, yang harus begadang sampai dini hari demi mengejar penumpang. And frankly, I don’t like that kind of lifestyle.

PT Blue Bird, Tbk.
Rating Kinerja pada 30 April 2014: BBB
Rating Saham pada 7,200: BB
Berikut adalah link prospektus lengkap Blue Bird, silahkan copy ke alamat browser anda:
http://dmia.danareksaonline.com/Upload/Prospektus%20Blue%20Bird.pdf

Sumber: TeguhHidayat.Com, gambar dari hasil pencarian Google. 









Posting Komentar

Posting Komentar

 
Top