Pak Teguh Hidayat menulis:
Berdasarkan pengalaman penulis ketika beberapa kali mengadakan seminar investasi saham, salah satu pertanyaan yang paling sering ditanyakan oleh peserta seminar ketika sesi tanya jawab adalah soal bagaimana cara kita mengetahui apakah laporan keuangan sebuah perusahaan menyajikan angka-angka (pendapatan, laba bersih dll) yang sebenarnya atau tidak. Atau dengan kata lain, bagaimana jika kita melihat bahwa laporan keuangan sebuah perusahaan tampak bagus dengan laba bersih yang besar dll, namun ternyata itu karena pihak perusahaan memalsukan laporan keuangannya tersebut? Nah, berhubung ini mungkin merupakan pertanyaan dari banyak sekali teman-teman investor, maka sekalian saja kita bahas disini. Okay, kita langsung saja.
Berdasarkan pengalaman penulis ketika beberapa kali mengadakan seminar investasi saham, salah satu pertanyaan yang paling sering ditanyakan oleh peserta seminar ketika sesi tanya jawab adalah soal bagaimana cara kita mengetahui apakah laporan keuangan sebuah perusahaan menyajikan angka-angka (pendapatan, laba bersih dll) yang sebenarnya atau tidak. Atau dengan kata lain, bagaimana jika kita melihat bahwa laporan keuangan sebuah perusahaan tampak bagus dengan laba bersih yang besar dll, namun ternyata itu karena pihak perusahaan memalsukan laporan keuangannya tersebut? Nah, berhubung ini mungkin merupakan pertanyaan dari banyak sekali teman-teman investor, maka sekalian saja kita bahas disini. Okay, kita langsung saja.
Salah satu kekhawatiran yang sering melanda seorang investor adalah terkait benar tidaknya informasi keuangan yang disajikan oleh laporan keuangan perusahaan. Contohnya, pada Kuartal II 2014, laporan keuangan PT Astra International, Tbk (ASII) menunjukkan bahwa perusahaan membukukan laba bersih Rp11.8 trilyun selama Januari – Juni 2014. Pertanyaannya, dari mana kita tahu bahwa ASII benar-benar membukukan laba sebesar itu? Bagaimana jika kenyataannya adalah bahwa laba ASII ternyata lebih kecil dari Rp11.8 trilyun, atau sebaliknya lebih besar?
Terkait hal ini, penulis jadi ingat dengan
seorang kawan yang merupakan pemilik dari salah satu perusahaan terbesar di
Indonesia, namun tidak terdaftar di bursa, dimana kami sempat mengobrol soal
laporan keuangan ini (kalau saya sebutkan nama PT-nya anda pasti tahu, namun
beliau keberatan jika nama perusahaannya disebut). Beliau bercerita bahwa, sebagai
pemilik dari perusahaan besar yang memiliki banyak sekali anak perusahaan, maka
bukanlah pekerjaan yang mudah untuk merekap data-data pendapatan, laba bersih,
dll dari anak-anak usahanya tersebut, untuk kemudian dikonsolidasikan ke
induknya. Alhasil, bahkan beliau sendiri pun tidak bisa menjamin bahwa data-data yang disajikan di laporan
keuangannya adalah benar, dan itu bukan karena mereka (pihak
manajemen) sengaja
memanipulasinya, melainkan karena kesulitan dalam merekap itu tadi.
Sekarang
coba anda bayangkan: Kalau anda adalah pemilik dari perusahaan rental
mobil kecil-kecilan,
maka menghitung laba bersihnya mudah saja: Ongkos rental yang masuk
selama satu
periode dikurangi bensin, gaji supir, penyusutan, dan seterusnya hingga
potongan pajak. Maka ketemu deh laba bersihnya berapa. Tapi kalau anda
adalah
pemilik dari grup usaha yang bergerak di bidang produksi dan distribusi
mobil,
perkebunan kelapa sawit, alat-alat berat, tambang batubara, perbankan
dan jasa
keuangan, hingga teknologi informasi (seperti ASII), maka bagaimana
menghitung
total laba bersihnya? Ya bisa saja dihitung hingga ketemu totalnya
berapa. Namun semakin besar angkanya, maka semakin besar kemungkinan
terjadinya perbedaan antara hasil perhitungan laba bersih yang
sesungguhnya dengan yang disajikan di laporan keuangan, karena
perhitungan yang dilakukan harus memenuhi standar akuntansi.
Itu sebabnya Warren Buffett pernah ngomong begini, 'Karena faktor keterbatasan akuntansi, kinerja kami yang sesungguhnya mungkin tidak tersajikan dalam laporan keuangan Berkshire Hathaway.'
Itu sebabnya Warren Buffett pernah ngomong begini, 'Karena faktor keterbatasan akuntansi, kinerja kami yang sesungguhnya mungkin tidak tersajikan dalam laporan keuangan Berkshire Hathaway.'
Nah, ketika pihak manajemen ketemu dengan
auditor independen, seringkali terdapat dispute (perselisihan) tentang
berapa angka yang benar, karena adanya perbedaan tadi. Misalnya, manajemen
mengklaim bahwa berdasarkan perhitungan internal yang mereka lakukan, laba
bersih perusaahaan adalah Rp100 milyar. However, setelah melakukan audit, pihak
auditor menyatakan bahwa perusahaan tidak bisa menyajikan cukup bukti bahwa laba
bersihnya mencapai Rp100 milyar, melainkan (yang benar, atau istilahnya
yang 'wajar tanpa pengecualian') adalah Rp70 milyar. Jika kedua
belah pihak (pihak manajemen dan auditor) sama-sama bersikukuh dengan
hasil
perhitungannya masing-masing, maka seringkali yang diambil adalah
jalan tengahnya. Alhasil, di laporan keuangan perusahaan (yang sudah diaudit),
laba bersih yang ditampilkan bukanlah Rp70 atau 100 milyar, melainkan mungkin
Rp85 milyar.
Lalu apakah dengan begitu laba perusahaan adalah
benar Rp85 milyar? Sekali lagi, belum tentu. Malah faktanya, tidak ada
seorangpun yang bisa mengetahui secara persis, berapa sebenarnya nilai laba
bersih tersebut.
Catatan: Yang dimaksud dengan mengaudit laporan keuangan bukanlah
menghitung ulang nilai pendapatan, laba bersih dll sejak awal,
melainkan mengevaluasi transaksi-transaksi keuangan yang dilakukan
perusahaan, apakah benar transaksi itu dilakukan atau tidak,
itupun pihak auditor tidak mengevaluasi seluruh transaksi. Contohnya,
kalau pihak perusahaan mengklaim telah mengeluarkan Rp10 milyar untuk
biaya hotel, dimana hal itu dicatat sebagai beban di laporan
keuangannya, maka pihak auditor akan minta bukti kwitansi hotelnya sebagai bukti transaksi tersebut, tidak perlu semuanya, tapi beberapa diantaranya saja.
Jadi tugas auditor bukanlah membuat 'laporan keuangan tandingan', melainkan, sekali lagi, hanya mengevaluasi angka-angka yang diajukan perusahaan di laporan keuangannya. Jika perusahaan tidak bisa mengajukan bukti-bukti yang cukup terkait angka-angka yang mereka ajukan, maka pihak auditor mungkin akan memberikan opini bahwa laporan keuangan tersebut adalah 'tak wajar'. Opini terbaik yang bisa diberikan auditor adalah 'wajar tanpa pengecualian', dan untuk memperoleh opini tersebut-lah, pihak perusahaan seringkali harus beberapa kali mengkoreksi laporan keuangannya, hingga akhirnya sesuai dengan semua bukti yang bisa diajukan kepada pihak auditor (pada titik inilah mungkin akan dilakukan 'jalan tengah' tadi). Setelah itu barulah laporan keuangannya akan dipublikasikan, plus dilengkapi pernyataan opini dari auditornya.
Proses audit ini rata-rata memerlukan waktu hampir 2 bulan setelah pembuatan laporan keuangannya selesai (tapi belum dipublikasikan karena masih belum memperoleh opini dari auditor). Itu sebabnya untuk laporan keuangan periode setahun penuh yang diaudit, keluarnya adalah sekitar tanggal 31 Maret, atau 3 bulan setelah tanggal laporan keuangannya (31 Desember). Sementara untuk periode kuartal yang lain (yang tidak diaudit), laporan keuangannya akan sudah dipublikasikan 1 bulan setelah tanggal laporan keuangan. Untuk periode kuartal 1 yang berakhir tanggal 31 Maret, misalnya, laporan keuangannya akan sudah dipublikasikan pada tanggal 30 April atau beberapa hari sebelumnya.
Jadi tugas auditor bukanlah membuat 'laporan keuangan tandingan', melainkan, sekali lagi, hanya mengevaluasi angka-angka yang diajukan perusahaan di laporan keuangannya. Jika perusahaan tidak bisa mengajukan bukti-bukti yang cukup terkait angka-angka yang mereka ajukan, maka pihak auditor mungkin akan memberikan opini bahwa laporan keuangan tersebut adalah 'tak wajar'. Opini terbaik yang bisa diberikan auditor adalah 'wajar tanpa pengecualian', dan untuk memperoleh opini tersebut-lah, pihak perusahaan seringkali harus beberapa kali mengkoreksi laporan keuangannya, hingga akhirnya sesuai dengan semua bukti yang bisa diajukan kepada pihak auditor (pada titik inilah mungkin akan dilakukan 'jalan tengah' tadi). Setelah itu barulah laporan keuangannya akan dipublikasikan, plus dilengkapi pernyataan opini dari auditornya.
Proses audit ini rata-rata memerlukan waktu hampir 2 bulan setelah pembuatan laporan keuangannya selesai (tapi belum dipublikasikan karena masih belum memperoleh opini dari auditor). Itu sebabnya untuk laporan keuangan periode setahun penuh yang diaudit, keluarnya adalah sekitar tanggal 31 Maret, atau 3 bulan setelah tanggal laporan keuangannya (31 Desember). Sementara untuk periode kuartal yang lain (yang tidak diaudit), laporan keuangannya akan sudah dipublikasikan 1 bulan setelah tanggal laporan keuangan. Untuk periode kuartal 1 yang berakhir tanggal 31 Maret, misalnya, laporan keuangannya akan sudah dipublikasikan pada tanggal 30 April atau beberapa hari sebelumnya.
Makanya, kalau anda perhatikan, dalam Bahasa
Inggris, laporan keuangan tidak disebut sebagai financial report,
melainkan financial statement, alias pernyataan keuangan. Berbagai data dan angka terkait nilai aset,
kewajiban, ekuitas, pendapatan, laba operasional, hingga laba bersih
perusahaan, itu semua tidak lebih dari pernyataan dari satu pihak saja yakni
pihak manajemen perusahaan, dan bukan
merupakan laporan yang secara persis menggambarkan keadaan dan fakta di
lapangan. Sebagai contoh, ketika di laporan keuangan PT A disebutkan
bahwa
nilai ekuitas atau aset bersih perusahaan (setelah dikurangi seluruh
kewajiban)
adalah Rp1 trilyun, maka ketika perusahaan dilikuidasi dimana aset-aset
tersebut dijual kemudian sebagian uangnya dipakai untuk melunasi semua
utang/kewajiban, maka nilai uang tunai yang tersisa belum tentu akan
persis Rp1
trilyun juga, melainkan bisa kurang, dan bisa juga lebih, tergantung
oleh
banyak faktor (kalau jualnya cepet-cepet alias diobral, maka kemungkinan
harga
jual asetnya akan turun, sehingga uang yang terkumpul akan lebih sedikit
dari
Rp1 trilyun).
Itu sebabnya, untuk mengkonfirmasi apakah pernyataan
seperti yang tercantum di laporan keuangan itu benar atau tidak, maka
diperlukan pernyataan tambahan dari
pihak ketiga, dalam hal ini auditor
independen, dimana pernyataan tersebut bukan berupa 'laporan
keuangan tandingan', melainkan hanya sekedar pernyataan pendapat/opini
bahwa laporan keuangan tersebut disajikan secara wajar atau tidak. Jika 'wajar tanpa pengecualian' adalah opini terbaik yang bisa diberikan pihak auditor, maka opini terburuknya adalah 'disclaimer',
yakni bahwa auditor sama sekali tidak melihat bahwa laporan keuangannya
disajikan secara wajar, atau dengan kata lain, berbagai angka-angka
seperti pendapatan dan laba bersih, itu semua tidak bisa dibuktikan
kebenarannya sama sekali (penulis ingat dulu pernah menemukan satu
perusahaan Tbk di Indonesia yang memperoleh predikat 'disclaimer' dari
auditornya, namun saya lupa nama perusahaannya).
Makanya pihak BEI sebagai otoritas bursa juga mewajibkan perusahaan untuk menunjuk auditor untuk mengaudit laporan keuangannya minimal setahun sekali (laporan keuangan kuartalan boleh nggak diaudit, tapi laporan keuangan pada akhir tahun harus diaudit). Namun keberadaan auditor inipun tetap tidak menjamin bahwa laporan keuangan perusahaan akan menjadi benar 100%, karena itu tadi: Kalau pihak manajemen dan pihak auditor sama-sama mengklaim bahwa angka mereka-lah yang benar, maka kemudian yang diambil adalah tengah-tengahnya.
Makanya pihak BEI sebagai otoritas bursa juga mewajibkan perusahaan untuk menunjuk auditor untuk mengaudit laporan keuangannya minimal setahun sekali (laporan keuangan kuartalan boleh nggak diaudit, tapi laporan keuangan pada akhir tahun harus diaudit). Namun keberadaan auditor inipun tetap tidak menjamin bahwa laporan keuangan perusahaan akan menjadi benar 100%, karena itu tadi: Kalau pihak manajemen dan pihak auditor sama-sama mengklaim bahwa angka mereka-lah yang benar, maka kemudian yang diambil adalah tengah-tengahnya.
Lho, jadi apakah dengan demikian laporan
keuangan perusahaan itu angkanya justru palsu semua? Well, bukan palsu, hanya saja
tidak bisa dijamin keakuratannya, dan itu sekali lagi bukan karena pihak
perusahaan sengaja memanipulasi (meski kemungkinan manipulasi tersebut akan
selalu ada), melainkan karena faktor perbedaan yang mungkin terjadi ketika
dilakukan perhitungan nilai laba bersih dll.
Tapi berdasarkan pengalaman penulis selama ini,
tidak adanya jaminan bahwa angka-angka yang disajikan di laporan keuangan sebuah
perusahaan (termasuk laporan keuangan yang diaudit) adalah benar, itu tidak
sebenarnya tidak jadi masalah. Sebab mau datanya benar atau tidak, namun yang
jelas semua investor melihat ke laporan
keuangan yang sama, karena tidak pernah ada laporan keuangan tandingan atau
semacamnya. Contohnya, ketika ASII menyatakan di laporan keuangannya bahwa laba
bersih mereka untuk periode Kuartal II 2014 adalah Rp11.8 trilyun, maka entah
itu angkanya benar atau tidak, namun yang jelas tidak ada data lain (atau
laporan keuangan versi lain) yang menyebutkan bahwa laba ASII bukanlah Rp11.8
trilyun, melainkan hanya (misalnya) Rp10 trilyun.
Dan ketika informasi tertentu hanya bisa
diperoleh dari satu sumber yang sama, maka anda tidak perlu khawatir bahwa anda
akan memperoleh informasi yang keliru, karena orang lain juga memperoleh
informasi yang sama. Ketika anda membaca bahwa nilai laba bersih ASII adalah
Rp11.8 trilyun, maka fund manager di Schroders juga membaca angka yang sama.
Alhasil, entah itu merupakan angka yang benar atau tidak, namun semua orang
sepakat bahwa laba bersih ASII adalah benar Rp11.8 trilyun.
Analoginya seperti ketika Badan Pusat Statistik
(BPS) menyatakan bahwa angka pertumbuhan ekonomi dan inflasi di Indonesia pada
tahun 2014 adalah sekian persen. Nah, apakah itu merupakan angka yang benar? Ya
bisa benar, bisa juga tidak, tapi yang jelas data dari BPS itulah yang dijadikan
acuan oleh semua orang, atau dengan kata lain dianggap benar oleh semua orang, karena memang tidak ada data
alternatif.
Namun ketika sebuah lembaga survey politik
menyatakan bahwa, berdasarkan survey/polling yang mereka selenggarakan, partai
tertentu akan memenangkan Pemilu, maka orang-orang tidak akan langsung percaya
dengan data hasil survey tersebut, karena masih ada beberapa lembaga lain yang
juga menyajikan data hasil survey milik mereka masing-masing, yang berbeda satu
sama lain. Sementara pada kasus data yang disajikan di laporan keuangan, hal
ini tidak terjadi karena untuk perusahaan manapun, laporan keuangannya (untuk
periode tertentu) hanya ada satu, dan tidak ada ‘laporan keuangan tandingan’.
Dan jika laporan keuangan sebuah perusahaan
memang menunjukkan hasil yang menggembirakan, sementara disisi lain sahamnya
pun masih murah, maka harga sahamnya juga akan naik. Contoh sederhana saja:
Pada awal tahun 2013 lalu, saham-saham properti mengalami kenaikan yang
signifikan, dan itu adalah karena sektor properti memang mencatat kinerja yang
luar biasa pada tahun 2013 tersebut. Jika pada tahun ini saham-saham properti
tidak mampu naik kembali hingga melewati titik tertinggi yang pernah dicapai
setahun yang lalu, maka itu adalah karena pada tahun 2014 ini laba perusahaan
properti banyak yang turun. Contoh lainnya, saham-saham batubara dan CPO
terbilang terpuruk sepanjang 2012 – 2013 karena pada dua tahun tersebut kinerja
mereka memang jeblok, namun pada tahun ini saham-saham di dua sektor tersebut
mulai bergerak naik, dan itu karena beberapa perusahaan batubara dan sawit
(meski tidak semuanya) mulai menunjukkan kenaikan pendapatan dan laba kembali.
Nah, jika anda kritis, anda mungkin bertanya: 1.
Benarkah laba perusahaan-perusahaan properti naik banyak pada tahun 2013, lalu 2.
Bernarkah laba tersebut kemudian turun pada tahun 2014 ini? Well, jika anda
meragukan dua fakta tersebut, namun yang jelas orang lain juga melihat data dan angka yang sama, dimana mereka
kemudian mengeksekusi buy and sell mereka berdasarkan data-data
tersebut. Dan itu sebabnya saham-saham di sektor properti rata-rata naik banyak
pada tahun 2013 lalu karena orang ramai-ramai membelinya (karena laporan
keuangannya bagus). Namun setelah mini-crash di akhir tahun 2013 lalu,
mereka ternyata belum naik banyak lagi pada tahun ini (sementara saham-saham
konstruksi, meski juga turun banyak pada akhir tahun 2013 lalu, namun kesininya
dengan cepat naik kembali karena kinerja mereka sejauh ini masih bagus).
Dan contoh terakhir, kalau anda membaca laporan
keuangan dari perusahaan-perusahaan Grup Bakrie, maka anda bisa dengan mudah
melihat bahwa kinerja mereka amat sangat berantakan: Ekuitas yang turun terus
(bahkan ada yang sampai minus), utang segunung, dan rugi melulu. Kalaupun anda
menganggap bahwa mungkin saja kinerja mereka sebenarnya tidak seburuk
kelihatannya, namun investor yang lain juga melihat ke laporan keuangan yang
sama, sehingga mereka ramai-ramai menghindari sahamnya. Hasilnya, bisa anda lihat
sendiri kan gimana nasib saham-saham Bakrie?
Tips-tips dalam membaca laporan keuangan
However, seperti yang sudah disebut diatas, kemungkinan
terjadinya manipulasi yang disengaja
pada laporan keuangan akan selalu ada. Selain itu, problem terbesar yang
seringkali dialami seorang investor adalah ketidak
telitiannya dalam membaca dan menganalisis laporan keuangan secara mendetail,
sehingga bisa menimbulkan salah persepsi.
Sebagai contoh, saya sering sekali menerima keluhan, ‘Mas Teguh, saham A kenapa
turun ya? Padahal saya lihat labanya naik.’ Dan saat itulah saya sekali lagi
harus menjelaskan bahwa hanya karena sebuah perusahaan mencatatkan laba yang
naik, maka itu bukan berarti bisa langsung disimpulkan bahwa kinerjanya bagus,
karena masih ada beberapa hal lain yang juga perlu diperhatikan di laporan
keuangannya, belum termasuk valuasi sahamnya. Jadi jika seorang investor
mengalami kerugian karena hal ini, maka itu bukan berarti karena perusahaan
memanipulasi laporan keuangannya, melainkan karena ia kurang teliti saja dalam
membaca laporan keuangan tersebut.
Dan satu tips yang mudah-mudahan bisa membantu
anda untuk membedakan mana laporan keuangan yang berkualitas (baca: menyajikan
data dan angka yang kemungkinan besar adalah benar adanya), dan laporan
keuangan yang abal-abal, adalah sebagai berikut: Sebaiknya pilih saham yang
menyajikan laporan keuangannya secara ‘bersih’,
yakni disajikan secara simpel, rapih, dan tidak ada akun-akun yang aneh-aneh. Contohnya Unilever Indonesia (UNVR) dimana pada laporan laba ruginya hanya
ada angka penjualan, yang setelah dikurangi harga pokok penjualan, beban
pemasaran, beban umum, penghasilan/biaya keuangan, dan pajak, maka diperolehlah
laba bersihnya berapa.
Sementara kalau anda lihat laporan keuangan Benakat Integra (BIPI), di laporan laba
ruginya terdapat beberapa akun yang ‘tidak sederhana’, seperti
keuntungan/kerugian lain-lain (kalau ditulis ‘lain-lain’, biasanya tidak ada
hubungannya dengan operasional perusahaan, atau dengan kata lain itu merupakan
keuntungan/kerugian yang tidak seharusnya ada), keuntungan/kerugian yang timbul
dari penjabaran laporan keuangan, dan peningkatan/penurunan nilai wajar dari
aset keuangan. Semakin banyak akun-akun yang rumit seperti ini, maka semakin
besar kemungkinan bahwa laporan keuangan tersebut telah diutak atik sedemikian
rupa sehingga hasilnya menjadi tidak seperti yang sebenarnya.
Kasus paling terkenal terkait hal ini adalah ketika Enron, perusahaan minyak raksasa di Amerika Serikat, ketahuan telah memanipulasi laporan keuangannya dan akhirnya dinyatakan bangkrut pada tahun 2011. Ketika itu, para analis di Wallstreet pun mengaku bingung ketika mempelajari laporan keuangan Enron, yang dipenuhi oleh akun 'transaksi oleh pihak berelasi', 'tansaksi derivatif', 'kerugian dari penurunan nilai dari aset yang tersedia untuk dijual', dan semacamnya (auditor Enron, Arthur Andersen, pada akhirnya juga ikut bangkrut setelah mereka dengan cerobohnya terus memberikan opini 'wajar tanpa pengecualian' untuk laporan Enron yang berantakan tersebut).
Kasus paling terkenal terkait hal ini adalah ketika Enron, perusahaan minyak raksasa di Amerika Serikat, ketahuan telah memanipulasi laporan keuangannya dan akhirnya dinyatakan bangkrut pada tahun 2011. Ketika itu, para analis di Wallstreet pun mengaku bingung ketika mempelajari laporan keuangan Enron, yang dipenuhi oleh akun 'transaksi oleh pihak berelasi', 'tansaksi derivatif', 'kerugian dari penurunan nilai dari aset yang tersedia untuk dijual', dan semacamnya (auditor Enron, Arthur Andersen, pada akhirnya juga ikut bangkrut setelah mereka dengan cerobohnya terus memberikan opini 'wajar tanpa pengecualian' untuk laporan Enron yang berantakan tersebut).
Selain itu, hati-hati dengan perusahaan yang
sering telat dalam merilis laporan keuangannya karena bisa jadi mereka
sengaja
mengutak atiknya terlebih dahulu, atau perusahaan yang menunjuk auditor
yang kurang kredibel untuk mengaudit laporan keuangannya. Beberapa grup
usaha yang punya kredibilitas
tinggi seperti Grup Astra, mau kinerja mereka bagus atau lagi turun,
selama
lima tahun terakhir ini selalu merilis laporan keuangannya tepat waktu,
dan mereka selalu menggunakan jasa PriceWaterhouseCooper (PWC), salah satu anggota big four auditor kelas dunia, untuk mengaudit laporan keuangan mereka.
Sementara Grup Bakrie, mereka hanya menunjuk auditor yang tidak terlalu terkenal, Mazars, untuk mengaudit laporan keuangan Bumi Resources (BUMI) dkk. Meski memang, untuk laporan keuangan BUMI di tahun penuh 2013, pihak Mazars juga memberikan banyak sekali catatan setelah memberikan opini 'wajar tanpa pengecualian'nya, yakni dengan menyebutkan bahwa angka-angka yang disajikan di laporan keuangan BUMI (yang telah diaudit) belum termasuk memperhitungan penyesuaian/perubahan tertentu yang mungkin terjadi karena kondisi tertentu yang dialami perusahaan/anak usahanya (mungkin disini artinya laporan keuangannya tidak bisa dipastikan kebenarannya bukan?)
Sementara Grup Bakrie, mereka hanya menunjuk auditor yang tidak terlalu terkenal, Mazars, untuk mengaudit laporan keuangan Bumi Resources (BUMI) dkk. Meski memang, untuk laporan keuangan BUMI di tahun penuh 2013, pihak Mazars juga memberikan banyak sekali catatan setelah memberikan opini 'wajar tanpa pengecualian'nya, yakni dengan menyebutkan bahwa angka-angka yang disajikan di laporan keuangan BUMI (yang telah diaudit) belum termasuk memperhitungan penyesuaian/perubahan tertentu yang mungkin terjadi karena kondisi tertentu yang dialami perusahaan/anak usahanya (mungkin disini artinya laporan keuangannya tidak bisa dipastikan kebenarannya bukan?)
Lalu untuk membaca laporan keuangan secara
teliti, maka anda tidak boleh membaca laporan keuangan hanya secara sekilas,
melainkan hari dari awal (dari bagian aset lancar) hingga akhir (arus kas), termasuk
poin-poin penjelasannya (di bagian ‘catatan’), sehingga anda akan memperoleh
informasi yang lebih menyeluruh ketimbang sekedar ‘laba perusahaan naik sekian
persen’. Jika perusahaan membukukan laba bersih yang tiba-tiba naik signifikan,
maka coba cek, dari mana asal peningkatan tersebut, apakah dari penjualan aset
atau memang benar dari operasional. Kasus lain yang sering penulis temui
belakangan ini adalah ketika nilai ekuitas/aset bersih perusaahan naik
signifikan, sehingga valuasinya (dari sisi PBV) menjadi rendah, namun ternyata
itu karena tambahan modal disetor, revaluasi aset dll, dan bukan karena peningkatan
saldo laba yang riil. Dan seterusnya.
Hufftt, okay, I think that’s enough.
Sebenarnya kalau saya ingat-ingat lagi, artikel yang kurang lebih serupa dengan
artikel kali ini sudah pernah saya tulis beberapa tahun lalu, juga di website
teguhhidayat.com ini (coba cari artikelnya di arsip artikel di sebelah kanan),
namun sepertinya banyak teman-teman investor pengunjung website ini yang hanya
membaca artikel yang baru-baru saja. Karena itulah, tips terakhir yang bisa
saya berikan pada kesempatan kali ini adalah, setelah anda selesai membaca
artikel ini maka jangan langsung buru-buru pindah ke website lain, melainkan silahkan
baca-baca artikel yang lainnya lagi (dari tahun 2010 sampai sekarang, total ada
sekitar 350 artikel). Trust me, it worth your while.
Sumber: TeguhHidayat.Com, gambar dari hasil pencarian Google.
Posting Komentar
Posting Komentar